Jumat, 22 Juli 2011

Siu Lam Namanya




Siu Lam mengelap air matanya yang masihtersisa. Gadis bermata sipit berkulit putih serta berkacamata itu nampak aneh pagiini. Wajah ayunya tenggelam oleh bibir yang nampak manyun. Hampir-hampir kedua bola mata sipitnya, tak nampak lagi akibat tangis yang telah ia tumpahkan semalaman. Dua kuncir rambut berkaret warna-warni yang biasanya terlihat menariketika setiap hentakan kakinya di pijakan di atas tanah basah, juga tak terlihat rapi lagi. Ia duduk di teras rumah sambil sesekali menengadahkan pandangan matanya ke arah langit yang membiru. Kejadian ini bukan hanya sekali saja, tetapi sudah nampak ia ulangi untuk berkali-kali padabelakangan ini.

“Sam, tahu gak Lam-Lam ada di mana?”, Ajeng menanyakan keberadaan Siu Lam, yang dia biasakan memanggilnya dengan nama Lam-Lam.

“ Ada di teras belakang kak”. Sahut Sam sambil berlari mengejar bola yang ia mainkan.

Kegembiraan Lam-Lam ia rasakan lenyap bebarengan dengan musim penghujan di bulan Oktober. Hujan mengguyur basah lumut-lumut hijau yang melekat di atas genteng pelataran. Acara ulang tahun yang telah ia susun dengan pesta tiup balon bersama beberapa sahabatnya tiba-tiba ia gagalkan tanpa pemberitahuan. Lam-Lam memang tampak berbeda dari beberapa sahabatnya yang lain. Jikapun ia sedang duduk dan mengikuti kegiatan kelas yang diajarkan oleh Ajeng, ia memang nampak paling menonjol. Baik dari segi kreatifitas ataupun kecerdasan.

“ Panti asuhan Damai Kasih?”, seorang lelaki mengawali perbincangan telefon dengan Ajeng.

“Iya, bisa saya bantu pak?”. Sahut Ajeng.

Dari percakapan telefon dengan Pak Yahya Hadimasuda itulah, Ajeng mengetahui asal muasal kesedihan Lam-Lam. Siu Lam namanya. Gadis kecil yang selalu ceria, bertubuh ringkih. Keturunan etnis China, yang ditemukan tergeletak begitu saja di depan gerbang utama Panti Asuhan Damai Kasihdelapan tahun yang lalu. Tak jelas asal muasal serta keberadaan orang tua, atupun sanak family yang bisa dimintai informasi mengenai dirinya. Hanya ditemukan gelang berwarna siver bertuliskan nama Siu Lam diantara tumpukan beberapa potong baju serta popok yang meninggalkanya ketika masih bayi dalam keadaan hampir mengenaskan. Ia ditinggalkan begitu saja disebuah keranjang yang biasa digunakan untuk mengantar sebuah parcel buah pada musim lebaran. Pak Yono, penjaga Panti Asuhan yang pertama kali melihatnya dan menggendongnya ke dalam rumah.
Siu Lam tumbuh layaknya beberapa anak yang lainnya. Dari beberapa puluh anak yang berada di Panti Asuhan, hanya ialah yang berwarna kulit tak sama.

“ Kak, Lam-Lam tidak mau pergi…”.

“ Lam-Lam tidak mau diadopsi oleh siapapun, Lam-Lam tidak mau meninggalakan sahabat-sahabat,Bapak, Ibu juga kan Ajeng!”.

“ Lam-Lam tidak mau punya orang tua baru!”, peluknya sambil berurai tangis kencang berderai.
Ajeng merangkulnya dengan mata yang sudah terlanjur basah oleh emosi yang juga meluap-luap tidak tertahan lagi. Ajeng sudah menganggap Lam-Lam bagian dari hidupnya selama ini. Bahkan Ajeng merelakan tak pulang dan bertemu dengan suaminya ketika mengetahui Lam-Lam terkena serangan panas tinggi dua pekan yang lalu.

Selama waktu delapan tahun, setiap hari Ajeng bertemu dengannya. Sudah layaknya anak sendiri dia merawat serta mendidiknya. Dan, walaupun Ajeng sendiri belum dipercaya oleh Tuhan untuk seorang momongan.

Dua hari lagi Lam-Lam akan dijemput oleh orang tua barunya. Keluarga Hadimasuda yang sudah lima belas tahun menikah belum juga mendapat momongan, tentu akan sangat senang dengan kehadiran Lam-Lam.

“Lam-Lam harus nurut dengan nasihat serta bimbingan Ayah dan Bunda ya…”, rayu Ajeng sambil mengelus rambut lurus gadis bermata sipit itu.

Perasaan nelangsa menyusup ke dalam hatinya yang lemah. Ia menangis menjadi setelah Mobil BMW itu melaju pergi. Wajah Lam-Lam yang nampak pucat serta tatapan matanya yang layu semakin menghantuinya. Bahkan, ketika Lam-Lam tak menjawab sepatah katapun kepada siapa saja yang mengucapkan kata perpisahan selamat tinggal kepadanya, semakin menambah rasa bersalah Ajeng.
Akan mendapat kehidupan yang lebih baik serta mendapat pendidikan yang layak!. Itulah yang menjadi alasan untuk tetap merelakan kepergian gadis kesayangannya itu.

Kringgggggggggggg……..
Telefon Panti Asuhan berdering keras di sore kesepuluh kepergian Lam-Lam. Kabar kepergian tanpa pamit Lam-Lam segera menyebar ke seluruh penghuni Panti Asuhan. Cemas, bingung dan khawatir menyatu dalam setiap detakan jantung para pengasuh di Panti Asuhan. Tak terkecuali Ajeng.
Bermalam di Panti Asuhan menjadi pilihan Ajeng . Laporan anak hilangpun sudah di adukan kepada Kepolisian setempat. Tak ada yang tidur malam itu. Damai Kasih, tak lagi sama kondisinya bagi penghuni Panti Asuhan di malam menegangkan menghilangnya Lam-Lam. Menjelang tengah malam, gedoran pintu Panti Asuhan yang berlapis pagar besi mengoyak kesunyian tanpa jeda. Semua terperanjat oleh suara yang merajai keheningan di malam itu.


“Kak…..Lam-Lam tidak mau punya Ayah-Bunda, Lam-Lam tidak mau Sekolah…. “.













Hong Kong, 23 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar