Rabu, 14 Desember 2011

Kamini Namanya


1313732794643343727
gambar: kegiatan menjala ikan warga pesisir selatan/danusblog.com




Sepertinya matahari masih terlalu lama bertemu pagi. Azan subuh pun belum nampak terdengar dari langgar yang berjarak hanya lima belas langkah dari rumahnya. Suara karet dari kerekan sumur terdengar mendesir ketika tergesek oleh besi yang sudah termakan usia. Airnya gemericik memecah hening.  Mengalahkan dengkuran para manusia yang selalu larut oleh gunungan mimpi. Ia menariknya pelan, takut kalau anaknya terbangun oleh suara bising di pagi yang masih buta.


 Ember yang bibirnya sudah terbelah itu tidak bisa penuh lagi, terisi oleh air yang ditimbanya. Ia mengulanginya lagi. Lagi dan lagi. Menimba air, memenuhi jedhingan agar anaknya dapat mandi sebelum pergi ke sekolah. Musim kemarau semakin meranggas. Menjadikan sumurnya menjadi tidak dangkal lagi. Membuat tarikan karet yang melilit pangkalan besi tua dan terkait oleh ember itu,  harus ia lelerkan lebih panjang lagi ke dasaran sumur. Lumut-lumut di bibir sumur juga semakin mengering. Sepertinya ia sudah enggan hidup lagi di sana. Bak air sudah terisi penuh. Perasaan sumringah menyelimuti hatinya.



Kemudian kakinya menuju arah dapur. Di tentengnya seonggok blarak kering yang ia pungut dari alas mbah Karto kemaren sore. Api mulai menyala-nyala. Berasnya sudah selesai di cuci. Gorengan ikan asin serta krupuk sudah mendahului di atas meja kayu tua.


Le…bangun nak, sholat subuh dulu.” Perintahnya kepada anaknya yang masih terlelap.

Mengambil air wudhu dilakukan bergantian dengan anak semata wayangnya setelah suaminya berpulang. Suaminya jatuh ke dasar laut.  Dan tak di ketemukan sampai sekarang ketika menjala ikan di musim padhang rembulan. 

Seperti biasanya.  Ia memulai untuk menuangkan air wudhu yang sudah terisi di sebuah kendi yang berwarna tanah itu kepada anaknya. Begitu pula yang dilakukan oleh anaknya. Dulu sempat ia ingin membangun tempat untuk berwudhu di dekat jedhing.  Tetapi kepergian suaminya terlalu cepat sehingga rencana itu pun terlewat.

Sehelai kain ia potong memanjang dari jarik yang sudah tak terpakai. Tak lupa caping bertali yang sudah berganti warna itu ia tenteng di bahunya. Sarung tangan? Ah seharusnya ia juga memilikinya. Agar tangannya tak merasakan panas bahkan sampai kulitnya mengelupas ketika menarik seutas tambang di rutinitasnya.

Pagi setelah anaknya pergi ke sekolah, ia berangkat juga. Membelah jalan pintas dari belakang rumahnya melewati jembatan oleng menuju arah bibir pantai. Sudah berkumpul beberapa wanita paruh baya di sana. Ada sepuluh wanita dan dua lelaki saja. Ia kenakan potongan jarik sebagai cadar di wajahnya. Ia kenakan caping sebagai peneduh dari ganasnya terik surya. Mungkin pekerjaan ini sudah purba. Tetapi ia tetap setia. 


Hari itu sudah berjalan tiga jam dari waktu di mana ia memulai kerjanya. Ia berada di barisan paling depan dari ke-sebelas penarik tali tambang. Peluhnya semakin terlihat. Tetes-tetes keringat turut mengucur di dahinya yang tertutup oleh teduh caping. Punggungnya mulai basah oleh keringat yang terserap dari baju yang menempel ketat. 


Di sisi kanan lalu berpindah di sisi kiri ia berbaur dengan mereka. Menarik seutas tali tambang yang berujung dengan sebuah jala besar yang berjarak ratusan kilo meter dari tengah lautan agar mencapai daratan.Menjaga keseimbangan dari benaman pasir pantai yang kadang tak bisa arif pada pelakon kehidupan yang hanya ingin mencari pangan.



Gurauan saling mereka umpan. Berharap kepenatan segera tersisihkan. Bergumam rapalan doa dalam hati Mengharap panen ikan akan melimpah. Kamini, sesekali hatinya kaku dalam diam. Di antara dilema laut yang telah mencuri ruh suaminya. Dan juga menelan jasad lelakinya. Tetapi laut juga lah yang telah memberinya makan selama ini.


Sementara lamat-lamat azan dzuhur sudah berkumandang. Para pedagang sudah menunggu di sisi kanan-kirinya. Berharap pula panen ikan akan melimpah. Agar pundi-pundi rupiah bisa mereka raup dari laba penjualan yang semakin bertambah.


Enam jam sudah tali tambang mereka tarik. Kulit yang mengapal bahkan terkelupas oleh besitan tali menjadi keseharian mereka. Jala besar yang mereka tarik sudah berada di tepian. Tidak seperti yang mereka harapkan. Ikan yang di peroleh dari jala-jala itu tak sebanding dengan waktu, tenaga yang telah mereka keluarkan. Upah yang mereka peroleh pun tak banyak seperti yang mereka inginkan. Dua puluh ribu rupiah itu saja. Wanita itu pulang dengan sumringah.


“Mak…Udin perlu beli sepatu baru!” Sembari menyodorkan sepatunya yang sudah robek di bagian depan serta samping. Lem yang menempelkan bagian bawahnya pun sudah hampir terlepas.

“Bukankah masih bisa di pakai to le…” Ia menimpali anaknya.

“Udin malu mak!” Wajahnya nampak terkulai lesu ketika mendapat jawaban dari emakya yang nampak tak bisa membelikan sepatu baru untuknya.
***




Kamini dan Udin berjalan dengan rutinitas. Satu hari, dua hari dan seterusnya. Sementara musim panen ikan di musim ini masih berjalan, meskipun penghasilan tidak pasti di dapatkan.


“Din…Udin.” Kamini memanggil-manggil anaknya sepulang ia menjala di bibir pantai. 


Meski bukan uang yang ia bawa pulang, tetapi ada sepuluh biji tangkapan sotong yang ia bawa pulang. Ia gantikan upah kerjanya dengan sotong kesukaan Udin. Kamini terus mencari Udin. Berharap hati Udin akan sumringah ketika melihat emaknya pulang dengan makanan yang ia senangi. Tetapi Kamini sudah berteriak semenjak dari luar dan mencari seisi rumah, tak ia ketemukan si Udin. Terlihat sepatu Udin tergeletak di pojok dapur dengan lumuran warna yang jelas, hitam!


Kamini memungut sepatu itu. Menciumnya, penasaran gerangan apa yang menghitam di sepatu anaknya itu. Hah, bukankah ini bau cat kayu? Kamini terkaget-kaget kenapa cat kayu bisa melumuri sepatu anaknya. Ia kembali meletakkan sepatu pada tempat semula, ketika terdengar gemericik air dari arah jedhing. Kamini mendekati Udin yang tengah sibuk dengan sebotol thinner untuk membersihkan kakinya.

“Udin jahit sepatunya mak!”

“ Di tempat benang adanya cuma warna putih. Udin lumuri cat warna hitam agar Udin tidak di suruh berdiri setelah upacara bendera mak….!” Dengan polos Udin menjelaskan ke emaknya.

Kamini terdiam, kaku bagai bongkahan batu yang mengeras. Hati Kamini hancur. Darahnya mendidih seketika. Melihat tingkah polah anaknya yang menyayat-nyayat hatinya. Ia memeluk Udin. Menangis hebat. Merasakan iba yang dasyat akan nasib yang Udin terima. Merasakan naluri keibuannya memberontak kuat ketika ia belum bisa membuat bahagia anaknya.
***



Pagi ini Kamini bangun lebih pagi. Jauh lebih pagi dari bangunnya ayam pejantan yang biasa berkokok. Semuanya dilakukan agar Ia dapat berburu rupiah yang lebih banyak lagi, dan lagi. Menyapu daun cengkeh di alas mbah Karso menjadikan waktunya lebih banyak dihabiskan diluar rumah. Menjualnya ke tangan penyuling minyak di dekat kantor kelurahan.


 Berlanjut dengan caping di kepalanya, ia kembali berdiri di antara barisan para nelayan pemburu ikan. Meskipun hampir telat, ia masih mendapatkan tempat. Dadanya kembali berdesir mengingat laut dan keganasannya pada hidupnya.


 Laut yang telah merenggut jasad suaminya. Laut yang sanggup mengejawantahkan kecintaan pada anak semata wayangnya. Ya, demi Udin apapun akan ia lakukan. Tangannya bukan kapalan lagi, tetapi lapisan kulitnya mulai memerah, terkelupas karena kerasnya tali yang beradu oleh tarikan jala yang terhempas oleh ombak.


Kamini berharap, dari tangannya ia segera bisa membelikan sepatu baru buat Udin. Berangkat pagi, pulang siang, lalu berangkat lagi sampai malam. Kamini hanya mengerti jikabekerja adalah pengabdian pada Gusti Agung. Menjalankan titah tanpa sempat berfikir untuk menghancurkan yang lain demi kejayaan diri sendiri atau keluarganya. 


Seperti yang telah mahfum terjadi di negeri tercinta. Seperti yang telah banyak di contohkan oleh pejabat, petinggi negeri ini. Kamini mengerti bergelut dengan tanpa harus menyikut. Kamini tidak seperti kebanyakan mereka yang sering melarikan masalah dengan diam. Tetapi tak di nanya diam-diam malah menebalkan muka.



 Banyak orang yang menganggap semuanya baik-baik saja. Ibarat kata, mereka terlalu sering bercermin kepada diri sendiri. Melihat diri sendiri aman-aman saja. Tetapi Kamini tidak demikian adanya. Sama seperti arti dari nama yang ia sandang, ia tetap menjadi wanita penuh kasih sayang untuk keluarga.  Untuk Udin anak semata wayangnya.



Note:

Jedhing: Kamar mandi
Alas : Hutan
Langgar: Masjid kecil tempat shalat
Kendi : Tempat air bercerat ( dibuat dari tanah)


Ani Ramadhanie-Newterritories
Hening. 19 Agustus 2011-01.44 PM

2 komentar:

  1. kayaknya ibukku ada di foto itu,, jazakillahu khoir mbok atas smwa yg d brikan pdku, atas kash sayangnya dan smwanya.

    BalasHapus
  2. Saya juga mempunyai kesan yang mendalam dengan Ibu saya...

    Terimakasih komentarnya, semoga tulisan ini menginspirasi..


    Salam :)

    BalasHapus