Senin, 12 Desember 2011

Juminten Laela


Juminten Laela.  Parasnya jelita. Kulitnya berbeda.  Perawakannya nyaris sempurna. Juminten Laela tak serupa anak dara lainnya. Juminten Laela. Rumahnya, bersebelah dengan musala. Kelahirannya, dianggap sebagai   malapetaka.  Juminten Laela. Bukan terlahir dari seorang janda.  Tangisnya memekik di kala subuh belum tiba. Mengejutkan sanak saudara. Juga berbagai pasang mata.


Di kampung Bundaran, Juminten dianggap pembawa kesengsaraan. Merusak martabat yang telah lama dirawat. Dilaknat oleh generasi pembawa riwayat.


Muryatin, tak pernah mengenakan  baju pengantin.  Tak ada pernyataan sebagai pengganti ketentuan ikatan.  Ibu-ibu dan perawan, tak sempat mengantar rantangan.  Tak ada  jenang ketan,  sebagai  rembug lamaran. Upacara peningsetan sebagai tanda hari baik pernikahan, terkesan diabaikan. Itupun tanpa perencanaan.


Tak ada janur kuning. Apalagi  dua janjang cengkir gading.  Begitu pula wasiat Kademin, bapak Muryatin. Upacara  siraman adalah lambang kesucian. Ditangguhkan, pada batas angan.  Air dari merang,  dibakar  sebagai pengganti sampo di dalam jembangan. Sebatas persiapan, tanpa pungkasan. Selembar jarik lurik  warisan dari mbah Carik,  itupun  tak sempat dilirik.  Di malam midodareni, sepasang kendi  tak lagi berisi  air suci.  Sejodoh  kembarmayang,  tak lagi berlanjut adat balangan. Pelataran, tak berubah menjadi pelaminan. Dekorasi hanya mengudang simpati.


Beberapa perempuan beradu pandangan.  Berkerumun seperti serangga berbulu, berebut mencari madu.  Ayam-ayam sabungan berlarian seperti datangnya isyarat kematian.  Di pagi buta,  tak seperti  datangnya  hari biasa. Jerit Muryatin memecah relung batin. Membuat siapa saja terperanjat terjaga.


Muryatin, anak Kademin. Perutnya membesar dikala terbangun dari mimpi, hendak ke kamar mandi. Sakitnya  luar biasa, seketika mendera. Muryatin, anak Kademin. Semakin meraung. Sekonyong-konyong membuat Kademin bingung. Mengalahkan riuhnya besan, begitu pula  senandung azan.


Halaman itu sudah cukup sebagai ungkapan kedukaan. Kembang cempaka tak lagi harum baunya.  Apa hendak dikata, segala terjadi tak seperti biasanya.  Membayangkan di kala Jainem masih ada.  Seorang perempuan, berusia empat puluhan. Tak pernah sekalipun mengenakan pakaian mewah. Berbandar hidup mengolah  basah tanah. Tak pernah sekalipun ia berfikir jikalau sawah adalah musibah. Seorang perempuan berusia empat puluhan.  Tak pernah merasakan enaknya jadi karyawan. Paling banter menjadi buruh harian. Juga mingguan. Tetapi ia tak mudah berubah pendirian.


Jainem selalu berfikir kalem. Terbiasa bangun pagi. Terkadang juga dini hari. Menyandarkan bakti menjumpai  Sang Gusti.  Lebih pagi dari  mentari  yang masih enggan menampakkan diri. Lekas-lekas kemudian mandi. Menyiapkan kopi. Lalu menanak nasi.  Tetapi itu dulu. Sebelum ia berlalu.  Sebelum anaknya perawan. Sebelum rambutnya dirayapi uban.


Bukan maksud menyesali. Jikalau sekarang  Kademin merasa sendiri. Jainem yang selalu membuat fikir adem. Sederhana baik budinya.  Selalu memuja doa untuk keluarga.  Nyawanya tak lagi tersemat di raga. Jainem  tak lagi bangun ketika subuh belum tiba. Pun setelah subuh mereda. Meninggalkan duka. Luka yang datang tiba-tiba. Bahwa kematian tak bisa disangka-sangka. Kapan dikira-kira. Di mana ia akan bermuara?



Setelahnya, Kademin tak lagi banyak bicara. Bahkan, sekedar menjelaskan ia seakan sungkan. Mbok Bidun, lebih tahu karena ia yang didaulat menjadi  seorang dukun.  Menjadi saksi, sekiranya telah terlahir bayi yang tak pernah diingini.  Selanjutnya, sanak saudara enggan menyapa.  Anak-anak dara serta para wanita menyerak berita. Menjadikan siapa saja tempat bertanya. Mengulas nestapa pada keluarga yang dianggap membawa bencana.


Waktu berlalu.  Hitungan hari  berganti bulan terlampaui. Lewatnya bilangan tahun bukan berarti ingatan menghilang di fikiran.  Juminten Laela. Masih meninggalkan sesak di dada. Bahkan ketika usianya tak lagi remaja. Kemudian ia diharamkan untuk berumah tangga oleh warga di kampungnya. Seakan Tuhan tak ada lagi di dunia!


Dan ini bukan lagi ketika sekolah menolaknya. Ketika teman sejawatnya dilarang mendekatinya. Ia dianggap bukan manusia. Membiarkannya hanya merasakan belas iba. Tak ada yang berani mengeluarkan akta kelahirannya. Bertanya siapa bapaknya? Itu yang selalu menjadi alasannya.


Juminten Laela pernah diusir dari kampungnya.  Bahkan sempat  hendak dibakar massa. Ketika pak  Jumprit bermimpi jikalau kampungnya akan terserang wabah penyakit. Tak luput, Juminten disangkutkan sebagai pembuat kalut.  Pembawa  fikiran kusut. Penyebab  kampung menjadi carut marut.



Kampung Bundaran masih memegang kuat kesakralan. Mbah Tukijan, masih didaulat sebagai sesepuh yang dituakan. Segala peraturan seakan ditiadakan sebelum mendapat wejangan mbah Tukijan. Kehormatan  diberikan warga Bundaran kepada mbah Tukijan karena kenyangnya pengalaman. Terurut riwayat, jikalau sejarah berdirinya Bundaran adalah berhubungan dengan salah satu kerabat yang di daulat. Keturunan mbah Tukijan sebagai salah satu penjulur riwayat.



Tetapi, terurutnya riwayat belum tentu akan menyamakan lakon pembawa riwayat. Mbah Tukijan pula yang selama ini  menyiarkan tuduhan.  Mengawali sangkaan. Menghimpun dugaan. Tentang datangnya paceklik, beserta keringnya sumur di Bundaran selang beberapa bulan. Juminten Laela kembali menjadi bahan umpatan. Kelahirannya kembali ribut dibisingkan. Itupun setelah dua puluh tahunan terlewatkan. Seakan Juminten adalah kotoran yang diberatkan. Hingga datang suatu pekan. Pada waktu setelah matahari  terbenam. Dalam. Pada suatu ritual selamatan. Dengan tangis yang sesenggukan. Ia mengadukan beban kepada Tuhan.



“Bukankah aku tidak meminta untuk dilahirkan? Dan seandainya aku terlahir dari rahim isteri mereka, atau Ibu mereka, atau saudara perempuan mereka. Apa yang hendak mereka kata. Tuhan?” Juminten Laela, mengulang doa…



Ani Ramdhan
Hening.Awal November.11 -23 November 2011
Newterritories.2.11 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar