Sabtu, 10 Desember 2011

Jarak


Kebersamaan di antara kita bukan saja dalam hitungan jemari, kan? Atau lembaran kalender yang memburu hari. Mencukupi bulan. Selanjutnya menggenapi bilangan. Lantas,  menjadikannya  tahun sebagai keterangan himpunan.  Hitungan jemari yang aku genapkan dan aku gandakan pun tak akan cukup untuk menghitungnya. Perjalanan kita  masih panjang, kan?  Dan selanjutnya, kita akan lebih banyak lagi mengingat tentang waktu yang terlintas dalam pertemuan-pertemuan singkat kita.


Coba dech, kita mulai mengingat? Kapan terakhir kali kamu bilang sayang padaku? Atau kapan terakhir kali kita nonton berdua di Bioskop? Oh, iya satu lagi. Kapan terakhir kali kita pergi berdua malam mingguan?


“Ah, kamu terlalu melankolis!”

“Tapi realistis, kan?”

“Iya,iya,iya. Jangan kuatir. Pokoknya, kamu akan tetap di hatiku. Senang?”

“Yeee, akhirannya kok gitu!”

“Nah, apanya lagi?”

“Masa, akhirannya menggantung gitu!”

“Idiiiih, sewot. Hahaha, pokoknya aku cinta kamu. Gak pakai koma, apalagi nambahin titik. Yang lain suruh nge- kost aja, ya yang! Ok?”

“Aku sibuk, yang. Nanti ngobrol lagi ya?”

Glek!

Tut. Tut.tut.



Dua puluh detik berlalu. Gagang telefon itu masih melekat di daun telinga kananku. Sepertinya, baru saja aku mulai menekan tombol namamu. Mendengar nada sambung lagu kesukaaanku.  Menata perasaanku.  Mengambil nafas dalam, mengatur gaya bicaraku.  Menyiapkan topik terhangat untuk dibincangkan.
Tapi semua hanya terlintas, cepat.  Seperti kedipan mata yang mengerjap. Tertutupi oleh bulu-bulu mata yang lebat. Tak ada perdebatan  tentang dialog kerinduan. Tentang datangnya pagimu. Tentang tenggelamnya malammu. Atau, ke mana menghilangnya kepulan-kepulan asap di bibirmu yang berwarna gelap?


“Di biasakan saja ya, yang?”

“Nanti  kita pasti  bertemu, kok!”

Dibiasakan?

Ya, dibiasakan!

Dibiasakan mungkin memang bukanlah sebuah jawaban. Tetapi belajar membiasakan mungkin juga  dapat mengurangi beban.  Tentang kekhawatiran. Keresahan. Keingintahuan.  Kegundahan. Kekecewaan. Atau sekedar pesan yang tak sempat tersampaikan.

Sama saja dengan menangis bukan, yang? Bukankah menangis juga dapat mengurangi beban? Ah, tidak dong yang! Menangis itu tidak perlu dibiasakan. Tapi menangis itu erat  hubungannya dengan Tuhan. Ha, Tuhan? Kok bawa-bawa Tuhan sih?

Coba dech, kamu bisa gak membiasakan diri setiap pagi menangis? Ah, ogah ah. Aneh kamu! Masa membiasakan, kok menangis?
Nah, benar kan apa yang kuutarakan? Menangis itu bahasa yang tidak mengenal aksara, yang!Menangis itu erat hubungannya dengan perasaan. Tidak melulu dengan kesedihan kok, yang!Kadang, juga sebagai bentuk kebahagiaan. Menangis itu adalah rasa tak terwakilkan,yang!


“Oh iya, yang! Aku sibuk. Email dari atasan gedor-gedor terus tuh!”

Glek!
Tut.tut.tut.


Senyumku getir. Dadaku berdesir. Langit malam di purnama ini  gelap terlalu dini. Tidak ada percakapan perihal  sisi batin. Atau sekedar menyusun tanya  agar abjad-abjad  yang tertata di ruanganku tak  terlantar di belantara.  Dan kamu suka begitu!
1320423714733967008
gambar:google.com

Kamar.04011.11.22.30
Newterritories.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar