Rabu, 21 Desember 2011

Dua Tahun Itu


gambar:kembarad7000.blogspot.com


Tak banyak yang tahu tentang janji itu. Janjiku dan kamu. Begitu sederhana janji kita. Atau memang kita berdua sengaja membuatnya sesederhana mungkin--- sehingga tak harus ada khawatir untuk terbesit ingkar di hati kita masing-masing.

Ya, janji kita untuk bisa bersama menjalin ikatan.  Janji yang akan kita lanjutkan ke jenjang yang lebih indah. Dalam cerita hidup yang akan kita ukir berbingkai coretan kisah sejarah---yang akan kita wariskan untuk anak cucu kita nanti. Nanti. Ya, nanti?

Pernikahan, itulah tujuan kita saat itu. Sebuah janji sama-sama kita ukir dengan pena yang sama dalam hati kita. Sebuah janji yang sama-sama kita jaga untuk tujuan yang sama---yaitu kebersamaan.  Setia itulah ikrar kita saat itu. Ya, setia. Aku pasti akan memegang ikrar kita.  Janji yang tulus yang pernah ku ucapkan padamu ketika itu.

Hanya dua tahun, itulah pametku padamu ketika itu. Bukankah waktu dua tahun itu sangat terasa lama?, tanyamu padaku ketika itu. Tidak sayang, waktu dua tahun itu akan sangat terasa cepat bagi kita kalau kita sama-sama menjaga janji kita. Ku coba kembali menyakinkanmu dengan sebuah kepastian, bahwa aku pasti akan pulang dalam waktu dua tahun. Kutinggalkan sebuah arloji untukmu, agar engkau dapat memandangi waktu dan mengingatku setiap saat. Bahwa dua tahun itu akan sangat terasa cepat.


Kejujuran dalam hatiku memberontak saat itu. Aku tak ingin jauh darimu, dan alasan ini terus dan terus memburuku hingga memenuhi bilik-bilik mimpi kerinduanku padamu. Aku terdiam atas sikap nekatku saat itu. Kuputuskan pergi untuk beberapa saat bukan karena tanpa alasan. Justru inilah masa depan kita. Dua tahun terasa cepat ketika musim dingin pertama bulan Oktober menyapaku. Ketika aku masih sangat asing dengan musim yang masih baru. Ketika aku harus bertahan hidup tanpamu di sisiku. Seluruh pori-pori kulitku mengering----akibat musim yang terasa kering. Darah segar mengucur dari hidungku,dan kata mereka aku kurang minum air. Tubuhku memberontak dengan kondisi ini.  Aku ingin pulang!!!



Satu tahun lagi janji itu akan datang kepada kita. Aku bersabar untuk itu, dan aku harap di sana engkaupun akan juga lebih bersabar. Untukku, untukmu, dan untuk kita berdua. Kegiranganku bertambah, semenjak musim dingin berlalu dan tergantikan musim panas yang sangat menyengat. Matahari seakan-akan sombong sekali terhadap penduduk bumi--- termasuk juga padaku, yang harus rela membiarkan kulitku berwarna gelap akibat sinarnya yang tak bersahabat.


Tapi, tak apalah. Hatiku merasa sangat terhibur ketika lembar demi lembar kalender berganti. Hari Senin menguber  Senin kembali terasa cepat silih berganti. Bukan dua tahun itu yang ku rindukan. Tetapi dua bulan lagi yang kurindukan. Dua bulan lagi aku akan pulang.

Tunggu aku, bersabarlah demi janji kita. Aku menjaganya hingga kini untukmu. Untukku dan untukmu.
Dengan hadir bayangku serta hadir bayangmu yang seutuhnya. Dengan segenap jiwa serta hati putih yang kita simpan dalam jemari rindu kita.  Semua luka dan kesedihan kita selama ini akan segera tergantikan dengan pertemuan.



Tetapi, langit seakan gelap saat itu---matahari seperti berbalik arah terbitnya di senja kelabuku. Waktupun seakan berhenti ikut berlari dari kalender demi kalender yang telah kususun rapi untukmu. Yeung UK Road Tsuen Wan, senja petang ketika aku mengumpulkan sisa tenaga yang terhempas asa.

Sebuah SMS “pametmu” padaku---disertai maaf yang tersingkap khilaf. Kau ungkapkan kalimat penganiayaan itu padaku,“besok adalah hari pernikahanku dengan gadis pilihan orang tuaku.”


Ani Ramadhanie
Hening. Man King Fung, 30 Oktober  2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar