Senin, 25 Juli 2011

Entahlah...




Bukan tatapan tajamnya yang membuatku suka…
Bukan senyum manisnya yang membuatku lena…
Bukan dada lebarnya yang membuatku terpana…
Bukan…

Entahlah...


Andai dia ada di depan mata…
Ingin segera ku berkata…
Tak akan lagi aku tahan rasa…


Berharap engkaupun akan membalas sapa…..

Dongeng Tentang Kata (Negeri Pesakitan)

Sewaktu kecil anak disekolahkan
Bapak Ibu pasti mempunyai sebuah harapan
Meski tidak besar , acchhh…….biarin saja asal pas-pas-an…!!!


Guru mengajarkan kejujuran
Yang tuapun diharuskan jadi tauladan
Jam turut merangkak, usia ikut kejar-kejar-an

Tentang kata….tak akan ada perubahan
Cita-cita tinggi akan sebuah keadilan
Yang diajarkan teori kejujuran
Terburai bak usus berceceran
Lempar sana lempar sini seperti arisan
Gambaran sebuah Negeri sedang pesakitan
Tentang kata…tak akan ada perubahan….
Obral sana sini janji hanya bualan
Mungkin dalam hatinya bersorak, Sukuurrr salah eloo sendiri gak pinter membual…!!!!



Tentang kata…tak akan ada perubahan…
Rakyat kecewa melahirkan umpatan
Kritik anak Negeri hanya jadi tontonan
Demo sana sini hanya dapat dialog tanpa kepastian…!!!
Tentang kata…tak akan ada perubahan…
Semua ikut bicara, janganlah salahkan….!!!
Maklum efek samping dari sebuah ketenaran…
Butuh perubahan…!!!
Butuh pencerahan….!!!!
Dan tentang kata….tak akan ada perubahan tanpa tindakan….!!!

Surat Akhir Pekan



Sepucuk surat akhir pekan….
Tanpa kata serta tulisan….
Air mata ‘ku jadikan pesan….
Untukmu yang jauh di seberang,
 Adakah sama kerinduan?





Hong Kong, 21 Agustus 2010
Lagi kangen....
Lagi Kangen………………

Perempuan Itu...




Perempuan itu….
Mungkin ada pada sorot  mata indahnya yang hening mengeluh teduh…
Atau  mungkin malu-malu memberikan lirikan manjanya….


Perempuan itu…
Mungkin ada pada senyum simpul manisnya…
Atau mungkin pada derai tawanya  yang gemerisik….


Perempuan itu ….
Mungkin ada pada lembut tuturnya…
Atau mungkin  pada gemulai etikanya….


Perempuan itu…
Mungkin  misteri dalam setiap burai tangisnya….
Atau mungkin pada setiap tetesan darahnya…


Perempuan itu…
Mungkin pada lemah tampilan raganya…
Atau mungkin  penguat jiwa-jiwa ringkih tak berdaya….


Perempuan itu…
Mungkin  yang mengajarkan cinta serta kelembutan….
Atau mungkin penghancur kerasnya batu perasaan…


Perempuan itu...
Mungkin ada dalam kehimpitan,
Atau mungkin berabalut do'a disetiap pengharapan



Hong Kong, 28 Agustus 2010  01.47
Kaulah perempuan itu...

Rasaku...






Lirih aku,
Tertinggal  dalam bisu….
Biaskan dukaku…….
Jiwa tertunduk mengiba….kaku…


Di sini,
Tak ada lagi indah suara Adzan  penyejuk qolbu….
Tak ada  lagi taraweh jama’ah bagiku….
Tak ada lagi sahur bersama itu….
Tak ada lagi  buka puasa  penuh cinta itu….



Sungguh…penyesalan itu marajai hatiku….
Kenapa baru sekarang  hasrat itu datang….
Disaat waktu  bukan lagi menjadi hak-ku…
Disaat raga  tak selincah dulu…
Disaat qolbu  mengemis  kasih itu…



Pencarianku bertemu di jalan  ini,
Disaat kembali aku terjatuh,
Dalam buliran tangis,
Dalam kesendirian,
Dalam keputusasaan,
Dia membelaiku dengan caraNya…
Dia merangkulku dengan kuasaNya…
Dia mengembalikanku dalam fitrah sejati yang telah lama menungguku,
Di pintu itu…..
Larut dalam bingkisan kata,
Sajadah panjang penuh cinta…
‘Ku ingin merayu-Nya…




Ramadhan  menenggelamkanku….
Tanpa tahu apakah ini yang terakhir bagiku?





Hong Kong, 4 September 2010  00.18
Tentang rasaku...

Bundaku Menangis



Ketika tepak langkahmu tertatih,
Nafas panjangmu tertindih
Raga ringkihmu merintih
Nyawamu seakan terpilih


Engkau  sendiri  tak ada yang menemani,
Berjuang keluh oleh amuk bumi


Air laut meninggi
Gunung-gunung mengeluarkan isi
Lari ke sana sini,
Menyisakan goresan sayatan hati, pilu.



Gelap, pekat.
Amuk bumi membuatmu sekarat
Berharap Tuhan berikan mukjizat


Satu, dua kali bahkan lebih tak lagi terbaca
Ketika senggolan mesra bencana
Lagi-lagi menyapa!
Sedangkan mereka,
Seakan terlupa,
Kapan ajal bisa buatnya binasa,
Masih saja bersantai ria,
Tidur nyenyak duduk di sofa
Membicarakanmu, melototimu
Bahkan, air mata itu terasa palsu!


Kebaya merahmu, berubah menjadi ungu
Ketika engkau tak sanggup lagi berlari mengadu
Bahkan kini, jarik lurik kesukaanmu
Berubah menjadi abu-abu
Lalu bagaimana dengan hatimu?
Apakah luka itu akan membekas bisu?




Hong Kong, 27 Oktober 2010 23.29
Rasaku  mengenang ketika itu.....

Cinta Yang Sama

12973561292133988747

Aku ingin menjadi tua bersamamu
Ketika kita kembali duduk di bangku kayu
Merasakan kerinduan yang sama
Ditemani sesruput teh mengisahkan cerita


Aku ingin menjadi tua bersamamu
Ketika usapan tangan menyeka keriput wajah
Membelai sisa usia dengan ujung jemari
Menyisir menelusupi rambutku


Aku ingin menjadi tua bersamamu
Ketika syair cinta tak seindah dulu
Tertawa bersama saat gigi tak lagi menggenapi geraham
Saat anak-anak kita berebut menelusup di pangkuan


Aku ingin menjadi tua bersamamu
Berbaring sepelukan berdekap ciuman
Memang tak seliar malam pertama
Tapi sehangat cinta yang sama


Inspire by seseorang yang berada dalam kerinduan



Hong Kong, 10 Februari 2011 23.52

Jumat, 22 Juli 2011

Jum'at Keramat


Kuasa tak tertandingi
Kesetiaan waktu menagih janji
Ia tak mau diselingkuhi!

Sekedip mata buatnya lenyap
Pilu di dada menyayat-nyayat
Sementara di sini,
Aku menelanjangi tumpukan mayat
Raga berpagut hampir sekarat
Terkubur diri reruntuhan bertingkat

Jumat Keramat!
Datang tanpa daya terselamat
Air laut hitam pekat
Menyapu hunian layaknya akrobat
Ia sombong, tak bersahabat!

Sakura terkabur di musim semi
Seolah bumi luruh terhenti
Tersadar  diri gagal memburu mimpi

Hai…!
Engkau di sana,
Masihkah ada nurani tersisa?
Pada bumi yang mengaku tua usia?

Udara semakin penat!
Matahari tak lagi menyengat!
Mulai mengabur sang juru selamat
Tertusuk oleh keserakahan yang semakin keparat!

Sampai kapan kita akan tetap terjaga?

Malam keresahan
Mengenang hari itu-Tsunami Jepang
Tsuen Wan-Hong Kong
12 Maret 2011

Dan Mungkin Aku Sudah Gila




Ketika cinta menyapu rasa
Ia hampir membuatku binasa
Terpelintir cerita di antara kediaman kita
Kau dan aku satu rasa
***

Dan mungkin aku sudah gila
Membiarkanmu menalar ketidakwajaran
Menyentuhmu ke batasan hayal kerinduan
Menyiksamu di ambang kewarasan
***

Nyawaku tak lagi di raga
Ketika dunia bertanya tentang siapa kita?
Kau dan aku tak lagi sama
Cinta membuatku gila


Sekelumit  rasa untuk seseorang yang sedang sakit gigi di ujung sana…..semoga cepet sembuh ya Hun…:)


Salam Cinta
Tsuen Wan-Hong Kong
 05 JUni 2011

Jika Kelak

Dulu Emakku pernah berkata,
Suatu ketika aku akan hidup bahagia
Meski kondisi fisikku tak sama,
Seperti mereka.


Di ayunan itu aku biasa tertidur
Di kidung Emak aku biasa mendengkur
Seirama dengan dendang subuh
Emakku selalu menuntunku bertutur


Tuhan…
Masihkah do’a ini terjawab oleh-Mu?
Seperti celoteh diri yang selalu terjawab oleh Emakku?


Aku ingin melihat sisa keindahan pelangi
Aku ingin melihat air laut berburu dengan ombak di sisa sore itu
Aku ingin tahu warna apa saja permen yang masuk ke mulutku
Aku ingin mengenal warna hitam, putih, serta abu-abu
Aku ingin membaca tanpa meraba aksara
Aku ingin berlari dan membelah belantara bumi
Paling tidak, aku ingin mengancingkan bajuku tanpa bantuan Emakku!
Atau paling tidak lagi, aku ingin makan ikan asin itu tanpa merepotkan tangan renta Emakku!
Jika kelak waktu masih berpihak padaku
Aku ingin seperti cerita Emakku…


1310147573355437842
fineartamerica.com
Do’a dalam sunyi
Tentang aku dan mimpi…



Poedjoek New Territories-Tsuen Wan HK
01.52
09  Juli 2011

Terpaksa dan Dipaksakan




Terkadang, sangat sulit membedakan
Yang mana tawaran,
Yang mana ketentuan,
Yang mana pula keputusan?
Terpaksa dan dipaksakan
Mereka bilang adalah sebuah pilihan…



11.42 pm-25 JUni 2011
Poedjok Tsuen Wan-New Territories HK

Kadang diri ini sering terjebak oleh pilihan

Lelaki di Kegersangan Imlek






Badai pulang berganti awan gelap. Iringan deras hujan mulai mengoyak kumpulan pasir yang menyatu di ponggahan batu. Percikan nakalnya menyeka sisi-sisi kaca jendela yang tertutupoleh lapisan debu. Harum khas aroma tanah ikut menelusup sumpalan pernafasan yang terasabuntu oleh hawa penat perkotaan. Lembaran demi lembaran dari setiap kalender itu menghilang di bawah ranjang tidurnya. Di pojok kantong sampah yang sudah tak terbuang selang beberapa pekan. Kadang, juga bisa ditemukan di bawah bantalnya.


Lentera nion berwarna merah mulai nampak menghiasi setiap sudut di kedip celah mata memandang. Pojok-pojok dari setiap pusat perbelanjaan tak kalah riuh ditelan rutinitas beraltar merah hati bercampur emas berlambang kemeriahan. Menyala-nyala di antara silau lampu yang tak mau kalah menyambut hari perayaan. Seakan bius semangat sedang membara seperti api dengan aksen merah sebagai serba-serbi. Di Pasar apalagi, suasana tak kalah ramai dengan antrian yang lebih berjubel dari biasanya. Seperti dengungan suara serangga yang berebut madu pada kuncup-kuncup bunga yang sedang mekar.

Membeli.

Menawar.

Semua larut dalam persiapan sebuah pesta. Musim dingin yang membekukan aliran darah pun tak jadi penghalang untuk tetap bersuka ria, larut dalam tawa.
***



Kecuali rumah itu. A Ho, ia biasa dipanggil. Lelaki delapan puluh tahun yang terkesan gesit dan lincah. Sangat berbeda dengan sepantarannya. Ia masih sibuk menatap sambil membolak-balikkan lembaran demi lembaran dari kalender yang terpasang di dinding ruang tamunya. Dari tahun yang bersio Macan sampai tahun yang bersio Kelinci. Ia masih sama. Hanya beberapa saja yang nampak berbeda dari rutinitas yang terlihat menjenuhkan itu. Tahun lalu ia terlihat tanpa kacamata. Namun tahun ini, kaca mata tebal dengan frame wajah simetris nampak menempel di wajahnya. Terkesan aneh ketika mata sipitnya semakin terkesampingkan oleh benda yang masih baru di wajahnya. Tahun lalu ia masih senang berpesta, berkumpul bersama bermain mahjong dilengkapi arak putih. Namun tahun ini, untuk bernostalgia pun ia sudah tak mau. Dibiarkan lampu di ruang tamunya mati tanpa ganti. Dibiarkan kran air di kamar mandi bocor tanpa memperdulikan lagi kenyamanannya untuk menikmati sisa hidup. Wajah beringas yang terkesan sangar itu sudah semakin meredup oleh penguasa dari segala penguasa.
Waktu tak mau diselingkuhi!
***



“Kenapa kau tidak nikahi saja wanita itu?”

“Bukankah dia wanita cantik yang kau idamkan?”

“Apalagi yang akan kau cari dalam hidup ini?”

“Usiamu sudah tidak muda lagi… Ingat itu! Kami tak selamanya bisa di sisimu?”

“Kau butuh generasi penerus, anakku!”
***



A Ho menutup kembali lembaran diarry di lembar 105 yang telah ia tuliskan sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia menutupnya, memasukkan kembali ke dalam laci berwarna cokelat kombinasi mengkilap.
Ingatannya mengembara pada sebuah ambisi masa lampau. Ketika sekumpulan pertanyaan yang diajukan oleh Ibunya tidak sempat ia jawab. Kesibukkan akan tuntutan kepuasan terus memburunya. Dari pagi bersua pagi ia gunakan untuk bekerja. Bersaing dengan lakon kehidupan. Bersemangat memburu kepuasan. Bepesta dengan aneka aroma arak yang memabukkan. Bercinta dengan beberapa pasangan. Bersantai dengan beberapa anjing sebagai pelipur sepi. Walupun tidak ahli, sesekali ia sempatkan waktu dengan gaya Ga Hung, seni bela diri China.


Ia sesumbar ketika itu. Tak akan terikat dengan satu wanita manapun! Pun ia tak menyukai anak-anak. Kegelisahan akan berkurangnya pundi-pundi dolar yang ia miliki lebih besar daripada persiapan masa tuanya.


Sementara usia telah merampas jiwa yang menitipkan kepercayaan pada sang raga. Sepuluh tahun yang lalu, ketika Ibunya pergi menyusul Ayahnya menuju tempat keabadian. Tempat baru di mana sebuah awal kehidupan dengan dimensi yang berbeda di mulai lagi.
***


Tahun ini masih sama. Masih dalam balutan musim dingin. Ketika kepulan asap dari cerutunya sudah tak dapat menghangatkan kerongkongannya. Ketika tubuhnya sudah tak lagi gagah dengan balutan dari kelembutan belaian sutera. Ketika Imlek untuk ke sekian kalinya ia merasakan kesepian dan kesendirian. Ketika tulang pada tubuhnya sudah tak sanggup lagi untuk menopang keseimbangan. Ketika ubun-ubunnya sudah merasakan bosan mengambil pembantu ,untuk merawatnya, mengajaknya berbincang.

Ia Bosan!

Ia sakit.

Ia tanpa teman!

Tanpa kerabat. Ketika Imlek menyapa mereka dengan sebuah hasrat yang baru, tidak dengannya. Di Panti Jompo ia kini terbaring. Mulutnya sudah tak bisa lagi lincah mengunyah makanan. Bahkan rebusan matcho, kurma merah sebagai asupan tambah darahnya sudah sulit tertelan. Selang kecil berada di antara lubang hidungnya. Infus itu pun ikut bersarang di lengannya yang kering, berbalut kulit yang sudah terlihat lemir. Ia menangis. Pun perawat itu tak sanggup membuatnya tersenyum.


New Territories-Hong Kong, 090611 at 17:45

Ketika keprihatinan di kehidupan kelak menyusup hatiku, tentang mereka. Orang yang hidup satu atap denganku. Mereka bilang, dengan harta hidup itu bisa bahagia. Apapun dapat terbeli. Ternyata tidak adanya. Bermilyar pun jumlahnya, ia tidak akan dapat membeli kesehatan.
( Mengintip secuil fenomena kehidupan masyarakat di Hong Kong)

Seribu Tangan Cinta

12899147591192922452


Aku masih ingat, ketika senja itu kau datang padaku
Dalam hujan dan basah, kau dekap erat tubuhku
Tak ada jengkal sedikitpun antara aku dan kamu
Bibirmu mengatup membiru
sedang matamu memerah saat itu
Gumpalan darah membeku
Melekat di sendi-sendi tubuhmu
seakan ingin ikut bernyanyi bersama rintikan hujan lebat saling berburu



Kau terseok oleh derita masa lalumu
Kau lumpuh ketika itu
Kau tengadahkan tanganmu,
 Mengharap kembalinya kasih dariku
 Kau tergeletak layu dipangkuanku.
Kau menghiba kala itu



Aku diam, bukan sengaja bungkam.
 Namun, aku hanya ingin mengikuti coretan demi coretan lukisan yang ingin engkau torehkan disetiap kisah pagi itu.



 Kebersamaan denganmu bukan hanya sekedar impian dan angan
Percayalah,
Jika memang benang merah  telah terlilit pada alur nadi kita
Biarkan saja Tangan Tuhan yang lebih berperan untuk mengatur setiap kisah ini
Biarkan......





Hong Kong- 210.41
16 November 2010