Kamis, 19 Juli 2012

Secarik Resah



foto: koleksi pribadi


Januari Minggu pertama. Awal tahun yang mengasyikan. Diibaratkan, kondisiku sekarang ini seperti mendapatkan  durian runtuh. Rejeki yang tidak pernah terkira. Cihuuuuy, ada dua hari berturut-turut untuk melepas kepenatan yang sudah nyembul di pelataran angan. Minggu pagi yang dingin.  Tidak ada alasan untukku bermalas-malasan di atas ranjang. Meskipun tadi malam baru dapat jatah tidur setelah larut tengah malam. Jam setengah tiga. Tubuhku baru mendapatkan hak untuk istirahat, setiap akhir pekannya.


Kebiasaan majikanku memang tidak pernah berubah. Atau mungkin dengan sengaja tidak mau merubahnya. Ah, entahlah. Selalu ada pesta setiap akhir pekan. Mengundang beberapa kawan, kerabat, juga  kolega bisnisnya yang datang dari Beijing.

“Di rumah kami ada banyak orang  loh, cece !” Kalimat itu keluar dari sing sang ketika kami melakukan interview sebelum tanda tangan kontrak kerja baru di Agentku.

“Hoak. Mou man dhai.” Seketika aku mengiyakan ketika majikan lelakiku memberi warning jika bekerja di rumahnya pasti akan terasa  berat.  Siapkah?

Bukannya tanpa alasan aku mengiyakan tawaran itu. Lou Sang. Bapak Agencyku yang sangat ramah,  adalah alasannya sehingga aku berani mengambil tawaran bekerja di rumah majikanku. Referensi yang sangat meyakinkan. Jika memang majikanku itu orangnya baik,  menjadikanku semakin yakin untuk menaruhkan nasib pada selembar kertas hijau itu. Kontrak dua tahunan yang akan menentukan cerita baru apa lagi yang akan terukir. Bismillah.

Ini adalah kontrak kedua selama aku bekerja di Hong Kong. Mengingat kontrak pertama, nasib yang menghampiriku sangat kurang beruntung. Sebenarnya pekerjaanya tidak begitu berat. Hanya merawat satu anak majikan saja.  Tapi, selama dua tahun itu aku sangat tertekan. Kondisi fisikku sangat memprihatinkan. Berat badanku turun drastis akibat lelah batin serta fisik. Bahkan aku sempat tidak menstruasi selama lima bulan berturut-turut karena kondisi di tempat kerjaku  semakin membuat hari-hariku stress berat. Tidak ada hari tanpa makian dari kedua majikanku. Dari subuh ketemu subuh. Sumpah serapah,  serta kata-kata kotor yang sangat menyakitkan menjadi menu tak terelakkan setiap harinya. Kerja apapun selalu dibilang salah dan tidak bersih. Bahkan mereka dengan sengaja memasang beberapa kamera di setiap sudut rumah dengan alasan untuk mengawasi kinerjaku merawat  anak semata wayangnya.


Ya Allah, aku sering menangis tanpa bisa mengeluarkan air mata ketika itu.  Itupun hanya berani kulakukan di kamar mandi saja. Karena mereka tidak pernah bekerja, dan  seharian terus berada di rumah utuk mengawasiku.  Pernah suatu ketika, badai angin topan tingkat delapan menerpa Hong Kong. Dibarengi hujan yang sangat lebat ketika itu. Majikan perempuanku menyuruhku untuk mencuci lantai teras dengan menyikat satu persatu garis pemisah keramiknya.  Kan sekarang lagi hujan, jadi kita bisa mengirit penggunaan airnya. Kilah majikanku. Aku kembali tak bisa menolaknya. Dengan derai air mata, aku melaksanakan perintah majikanku. Basah kuyup tubuhku oleh guyuran air hujan selama kurang lebih dua jam. Dingin tubuhku menggigil oleh hembusan angin topan yang tanpa sungkan, langsung menembus kulitku.

Ini adalah pengalaman pertamaku memulai bekerja di Hong Kong. Tetapi sudah seberat itu ujian yang diberikan padaku. Jangankan untuk sholat. Buku Yassin saja waktu itu disita dengan paksa dan dibuang di tempat sampah. Dan aku hanya bisa terdiam tanpa bisa melawan. Sudah semenjak awal aku dilarang untuk menggunakan HP. Begitu juga untuk sekedar berbincang dengan mbak-mbak yang lain, ketika kami sama-sama mengantar anak ke Sekolah. Aku diawasi dengan super ketat. Sekali lagi aku hanya diam. Termasuk ketika dalam dua tahun itu, aku sama sekali tak pernah mengerti hari libur. Tak pernah tahu apa yang terjadi di luaran sana. Serta kabar apa yang sedang memanas di gedung-gedung tinggi negaraku, Indonesia. Aku sama sekali buta berita. Tak tahu sama sekali tentang Hong Kong. Bahkan, kabar keberadaanku di Hong Kong pun, hanya beberapa kali kukirim ke kampung halaman. Pun setelah aku dapat pertolongan seorang wanita paruh baya, yang rumah majikannya tepat di samping kiri rumah majikanku.  Meskipun terasa sangat berat, alhamdulillah  aku menahan sesak itu sampai dua tahun. Ya Allah, sungguh ini sangat melelahkan.

Menembus kabut putih yang masih tebal.  Mengenakan empat potong pakaian serta sepotong jaket kulit yang dulu kubeli  dengan harga diskon besar-besaran di salah satu toko di  kawasan Jordan.   Aku melenggang. Tapi masih saja hawa dingin itu mampu menembus lapisan kulit tropisku. Bahkan ketika aku berbicara. Nampak keluar sembulan-sembulan asap dari dalam mulutku. Ah, sepertinya Hong Kong akan turun salju. Gumam hatiku ngawur ketika merasakan dingin memang sangat kejam menggilas pertahanan pori-pori kulitku.  

Causeway Bay sepagi ini masih nampak sepi. Jam delapan pagi aku sudah duduk di salah satu bangku cokelat tua yang warnanya sudah memudar.
Mendadak datang tergopoh seseorang dengan dandanan yang rame. Warna rambutnya merah menyala. Bajunya sangat stylist banget. Anak gaul kalau bahasa kerennya.
“Pagi mbak, libur?” Tanyaku mengakrabkan diri.
“Aku baru keluar dari majikan mbak. Nge-break.” Jawabnya dengan nafas tersenggal.
“Ha, kenapa mbak. Ada masalah?” Selidikku iseng penasaran.
“Majikanku cerewet mbak. Nggak dikasih makan. Tiap hari ditungguin terus. Nggak boleh pakai HP. Duh, apalagi lap top ku mbak. Ngangkrak! Nggak bisa chatingan, dong! hehe” Urainya cuek.

Nah lo, aku kaget dengan jawabannya yang semau gue itu. Emang ke Hong Kong mau ngapain  mbak? Mau chatingan? Telfonan? Atau mau dapat uang, tapi nggak usah pakai kerja? Hah, hatiku mendadak protes.

“Koran mbak.” Datang seseorang lagi duduk di bangku sebelahku, sambil menyodorkan Koran berbahasa Indonesia yang biasanya di peroleh secara gratis itu.

Aryati. BMI asal Blitar. Tergeletak koma selama seminggu karena disiksa majikan. Menjadi headline Minggu awal tahun yang menyesakkan. Dadaku berdesir membacanya, sementara seseorang yang duduk di sebelahku lagi sangat bertolak belakang nasibnya dengan Aryati. Hah, bukan maksud hati ingin dia seperti Aryati. Tetapi apakah dia tidak pernah berfikir seandainya nasibnya suatu saat nanti bisa menjadi Aryati, Aryati yang lainnnya? Bagaimana?

Aku lanjutkan membaca tuntas kasus Aryati. Selembar foto seorang wanita yang tengah terkulai di atas ranjang pesakitan itu semakin membuat siapa saja yang membacanya menjatuhkan iba. Lembar ke dua kulanjutkan. Pandangan mataku berhenti pada sebuah rubrik dengan tinta tebal berwarna hitam. Kolom Sastra. Sebuah kutipan dengan huruf miring berwarna biru memikat hatiku.

“Inti hidup itu adalah kombinasi niat ikhlas, kerja keras, doa dan tawakkal. Ikhlaskan semuanya, sehingga tidak ada kepentingan apa-apa selain ibadah. Kalau tidak ada kepentingan, kan seharusnya kita tidak tegang dan kaget.” 
 Ahmad Fuadi, Negeri 5 Menara

Ikhlaskan semuanya, sehingga tidak ada kepentingan apa-apa selain ibadah. Kalimat ini membiusku pelan. Ikhlas? Apakah  selama ini aku sudah ikhlas? Bahkan ketika jatah tidur malamku berkurang, aku selalu menggerutu?



Tulisan ini adalah curhatan dari seseorang teman. 
Dimuat di  Majalah  Iqro Hong Kong Rubrik Curhat edisi Februari 2012.
*Ani Ramdhan

2 komentar:

  1. menyedihkan..
    berat bekerja di luar sana. menjadikan aku selalu bersyukur masih bisa bekerja disini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terasa lebih berat karena mungkin juga ini bukan negara kita sendiri mbak Rochma...Jadi sama-sama harus saling beradaptasi dan toleransi

      Terimakasih ya:)

      Hapus