![]() |
foto: koleksi pribadi |
Januari Minggu
pertama. Awal tahun yang mengasyikan. Diibaratkan, kondisiku sekarang ini
seperti mendapatkan durian runtuh. Rejeki
yang tidak pernah terkira. Cihuuuuy, ada dua hari berturut-turut untuk melepas
kepenatan yang sudah nyembul di pelataran angan. Minggu pagi yang dingin. Tidak ada alasan untukku bermalas-malasan di
atas ranjang. Meskipun tadi malam baru dapat jatah tidur setelah larut tengah
malam. Jam setengah tiga. Tubuhku baru mendapatkan hak untuk istirahat, setiap
akhir pekannya.
Kebiasaan majikanku
memang tidak pernah berubah. Atau mungkin dengan sengaja tidak mau merubahnya. Ah,
entahlah. Selalu ada pesta setiap akhir pekan. Mengundang beberapa kawan,
kerabat, juga kolega bisnisnya yang datang
dari Beijing .
“Di rumah kami ada
banyak orang loh, cece !” Kalimat itu keluar dari sing
sang ketika kami melakukan interview sebelum
tanda tangan kontrak kerja baru di Agentku.
“Hoak. Mou man
dhai.” Seketika aku mengiyakan ketika majikan lelakiku memberi warning jika bekerja di rumahnya pasti
akan terasa berat. Siapkah?
Bukannya tanpa
alasan aku mengiyakan tawaran itu. Lou Sang. Bapak Agencyku yang sangat ramah, adalah alasannya sehingga aku berani mengambil
tawaran bekerja di rumah majikanku. Referensi yang sangat meyakinkan. Jika
memang majikanku itu orangnya baik, menjadikanku semakin yakin untuk menaruhkan nasib
pada selembar kertas hijau itu. Kontrak dua tahunan yang akan menentukan cerita
baru apa lagi yang akan terukir. Bismillah.
Ini adalah kontrak
kedua selama aku bekerja di Hong Kong .
Mengingat kontrak pertama, nasib yang menghampiriku sangat kurang beruntung. Sebenarnya
pekerjaanya tidak begitu berat. Hanya merawat satu anak majikan saja. Tapi, selama dua tahun itu aku sangat
tertekan. Kondisi fisikku sangat memprihatinkan. Berat badanku turun drastis
akibat lelah batin serta fisik. Bahkan aku sempat tidak menstruasi selama lima
bulan berturut-turut karena kondisi di
tempat kerjaku semakin membuat
hari-hariku stress berat. Tidak ada
hari tanpa makian dari kedua majikanku. Dari subuh ketemu subuh. Sumpah serapah,
serta kata-kata kotor yang sangat
menyakitkan menjadi menu tak terelakkan setiap harinya. Kerja apapun selalu
dibilang salah dan tidak bersih. Bahkan mereka dengan sengaja memasang beberapa
kamera di setiap sudut rumah dengan alasan untuk mengawasi kinerjaku merawat anak semata wayangnya.
Ya Allah, aku
sering menangis tanpa bisa mengeluarkan air mata ketika itu. Itupun hanya berani kulakukan di kamar mandi
saja. Karena mereka tidak pernah bekerja, dan
seharian terus berada di rumah utuk mengawasiku. Pernah suatu ketika, badai angin topan tingkat
delapan menerpa Hong Kong . Dibarengi hujan
yang sangat lebat ketika itu. Majikan perempuanku menyuruhku untuk mencuci
lantai teras dengan menyikat satu persatu garis pemisah keramiknya. Kan
sekarang lagi hujan, jadi kita bisa mengirit penggunaan airnya. Kilah
majikanku. Aku kembali tak bisa menolaknya. Dengan derai air mata, aku
melaksanakan perintah majikanku. Basah kuyup tubuhku oleh guyuran air hujan
selama kurang lebih dua jam. Dingin tubuhku menggigil oleh hembusan angin topan
yang tanpa sungkan, langsung menembus kulitku.
Ini adalah pengalaman
pertamaku memulai bekerja di Hong Kong . Tetapi
sudah seberat itu ujian yang diberikan padaku. Jangankan untuk sholat. Buku Yassin saja waktu itu disita dengan
paksa dan dibuang di tempat sampah. Dan aku hanya bisa terdiam tanpa bisa
melawan. Sudah semenjak awal aku dilarang untuk menggunakan HP. Begitu juga
untuk sekedar berbincang dengan mbak-mbak yang lain, ketika kami sama-sama
mengantar anak ke Sekolah. Aku diawasi dengan super ketat. Sekali lagi aku
hanya diam. Termasuk ketika dalam dua tahun itu, aku sama sekali tak pernah
mengerti hari libur. Tak pernah tahu apa yang terjadi di luaran sana . Serta kabar apa yang
sedang memanas di gedung-gedung tinggi negaraku, Indonesia . Aku sama sekali buta
berita. Tak tahu sama sekali tentang Hong Kong .
Bahkan, kabar keberadaanku di Hong Kong pun,
hanya beberapa kali kukirim ke kampung halaman. Pun setelah aku dapat pertolongan
seorang wanita paruh baya, yang rumah majikannya tepat di samping kiri rumah
majikanku. Meskipun terasa sangat berat,
alhamdulillah aku menahan sesak itu
sampai dua tahun. Ya Allah, sungguh ini sangat melelahkan.
Menembus kabut
putih yang masih tebal. Mengenakan empat
potong pakaian serta sepotong jaket kulit yang dulu kubeli dengan harga diskon besar-besaran di salah
satu toko di kawasan Jordan . Aku
melenggang. Tapi masih saja hawa dingin itu mampu menembus lapisan kulit
tropisku. Bahkan ketika aku berbicara. Nampak keluar sembulan-sembulan asap
dari dalam mulutku. Ah, sepertinya Hong Kong
akan turun salju. Gumam hatiku ngawur ketika merasakan dingin memang sangat kejam
menggilas pertahanan pori-pori kulitku.
Mendadak datang
tergopoh seseorang dengan dandanan yang rame. Warna rambutnya merah menyala. Bajunya
sangat stylist banget. Anak gaul
kalau bahasa kerennya.
“Pagi mbak, libur?”
Tanyaku mengakrabkan diri.
“Aku baru keluar
dari majikan mbak. Nge-break.”
Jawabnya dengan nafas tersenggal.
“Ha, kenapa mbak. Ada masalah?” Selidikku
iseng penasaran.
“Majikanku cerewet
mbak. Nggak dikasih makan. Tiap hari ditungguin terus. Nggak boleh pakai HP.
Duh, apalagi lap top ku mbak. Ngangkrak! Nggak bisa chatingan, dong!
hehe” Urainya cuek.
Nah lo, aku kaget
dengan jawabannya yang semau gue itu. Emang ke Hong Kong
mau ngapain mbak? Mau chatingan?
Telfonan? Atau mau dapat uang, tapi nggak usah pakai kerja? Hah, hatiku
mendadak protes.
“Koran mbak.”
Datang seseorang lagi duduk di bangku sebelahku, sambil menyodorkan Koran
berbahasa Indonesia
yang biasanya di peroleh secara gratis itu.
Aryati. BMI asal
Blitar. Tergeletak koma selama seminggu karena disiksa majikan. Menjadi headline Minggu awal tahun yang
menyesakkan. Dadaku berdesir membacanya, sementara seseorang yang duduk di
sebelahku lagi sangat bertolak belakang nasibnya dengan Aryati. Hah, bukan
maksud hati ingin dia seperti Aryati. Tetapi apakah dia tidak pernah berfikir
seandainya nasibnya suatu saat nanti bisa menjadi Aryati, Aryati yang lainnnya?
Bagaimana?
Aku lanjutkan
membaca tuntas kasus Aryati. Selembar foto seorang wanita yang tengah terkulai
di atas ranjang pesakitan itu semakin membuat siapa saja yang membacanya
menjatuhkan iba. Lembar ke dua kulanjutkan. Pandangan mataku berhenti pada
sebuah rubrik dengan tinta tebal berwarna hitam. Kolom Sastra. Sebuah kutipan
dengan huruf miring berwarna biru memikat hatiku.
“Inti hidup itu adalah
kombinasi niat ikhlas, kerja keras, doa dan tawakkal. Ikhlaskan semuanya,
sehingga tidak ada kepentingan apa-apa selain ibadah. Kalau tidak ada
kepentingan, kan seharusnya kita tidak tegang dan kaget.”
― Ahmad Fuadi, Negeri 5 Menara
― Ahmad Fuadi, Negeri 5 Menara
Ikhlaskan semuanya,
sehingga tidak ada kepentingan apa-apa selain ibadah. Kalimat ini membiusku
pelan. Ikhlas? Apakah selama ini aku
sudah ikhlas? Bahkan ketika jatah tidur malamku berkurang, aku selalu
menggerutu?
Tulisan ini adalah curhatan dari seseorang teman.
Dimuat di Majalah Iqro Hong Kong Rubrik Curhat edisi Februari 2012.
Dimuat di Majalah Iqro Hong Kong Rubrik Curhat edisi Februari 2012.
*Ani Ramdhan
menyedihkan..
BalasHapusberat bekerja di luar sana. menjadikan aku selalu bersyukur masih bisa bekerja disini :)
Terasa lebih berat karena mungkin juga ini bukan negara kita sendiri mbak Rochma...Jadi sama-sama harus saling beradaptasi dan toleransi
HapusTerimakasih ya:)