Jumat, 30 Desember 2011

Kopdar Kompasianer Hong Kong, Bersama Kompasianer Jakarta


1319991182283288116
 Kompasianer Hong Kong bersama Om Julianto Simanjuntak.Saya, Om Julianto Simanjuntak,Fera,mbak Ina, Teman mbak Ina, mbak Sarwendah Rahman/ani.doc





Om Julianto Simanjuntak. Atau lebih dikenal dengan sebutan Bang JS.  Namanya sudah sangat tidak asing lagi bagi para kompasianer tentunya. Kompasianer yang menetap di Jakarta dan selalu menghiasi hari-hari  kompasiana dengan tulisan-tulisan yang sangat menginspirasi pembaca. Akhirnya mendarat juga di Hong Kong. Setelah  kedatangannya kami tunggu semenjak satu bulan yang lalu. Melalui komentar di salah satu artikel beliau, saya mendapat kabar dan  tawaran untuk mengadakan kopdar bersama  teman-teman kompasianer yang berada di Hong Kong.  Bagaimana mbak, bisa? Yaps, saya mengiyakan! Sungguh senang sekali jika beliau mau meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan seminar dan kegiatannya berkunjung ke Hong Kong ini.




Saya berbagi tugas dengan Fera Nuraini. Kompasianer dari Ponorogo, admin event-event fiksi yang sudah popular itu untuk menghubungi kompasianer yang berada di Hong Kong. Menawarkan kopdar bareng bersama  Om Julianto Simanjuntak di hari Minggu,  bertepatan dengan jatah kami liburan.



Setelah janjian dibuat, waktu dan tempatpun disepakati. Saya bertemu dengan Fera Nuraini, Sarwendah Rahmah sekitar jam tiga sore di jalanan padat Causeway Bay. Kami berangkat bersama-sama untuk menjemput Om Julianto Simanjuntak yang berada di tempat seminar, daerah Fotress Hill. Alamat sudah kami kantongi. Tak terlupa nomor kontaknya. 

Jam empat, kami bertiga sudah sampai di tempat yang tertera pada alamat. Tetapi sore ini, kami sempat dibuat resah dan penuh debar. Menunggu terlalu  lama, yang ditunggu tak datang juga. Dan ternyata, waktu kami terbuang sia-sia. Alamat yang sudah membuat kami menunggu sekitar satu jam di lobi, ternyata salah. Di ujung telfon, Om Julianto Simanjuntak juga sedang resah. Haha, ceritanya nih, kami saling tunggu-menunggu. Kembali mencari, dan akhirnya sampai juga di tempat yang di tuju.



Kedatangannya disambut hangat oleh teman- teman kompasianer  Hong Kong yang menyempatkan waktunya untuk hadir. Mengenakan kemeja putih berlengan pendek, senyumnya sumringah. Nampak lebih muda dari usia yang  berpagut pada raga.  Setelah bertemu dan saling bertegur sapa, kami memutuskan untuk pergi ke Jordan. Restoran Bali, tempat asyik untuk menikmati sore dalam kebersamaan.


1319991279896961199
Sharing dan konsultasi dengan pakar/ani.doc


Sementara di ujung telfon, kompasianer lain yang berhalangan datang tidak kalah hebohnya. Bang Nasr dan Nova Azha, turut menyampaikan salam takzim dan permintaan maaf karena berhalangan hadir untuk dapat berbaur dengan kami. Di MTR Jordan, kami masih harus menunggu mbak Ina. Kompasianer Hong Kong,  yang kebetulan ini adalah jumpa saya untuk pertama kali dengannya. Ramah, dan sungging senyum tak pernah luput dari pipinya.



Nasi rendang, mi goreng khas lidah pribumi, roti prata menjadi menu pilihan kopdar  santai kami.  Acara berlangsung santai sore ini. Saling berbagi dan mencoba untuk saling mengenal, meski kami berada dalam keberagaman latar belakang.


Om Julianto Simanjuntak, yang berkarya di ladang konseling membuka topik sore ini. Mulai bertanya, bercerita  dan mencoba untuk lebih mengenal teman-teman kompasianer. Dan hasilnya, kopdar kami bukan hanya sekedar kopdar. Tetapi lebih mengarah kepada curhat dan konsultasi. Hehehe, cerita sore ini, kami mendapat konsultasi gratis  bersama Om Julianto Simanjuntak. Dan tidak tanggung-tanggung, jika perbincangan kami lebih mengarah kepada tips-tips jitu cara penyelesaian masalah yang sedang dihadapi oleh masing-masing kompasianer yang bertanya. Dan salut sekali kepada  Om Julianto Simanjuntak, dengan telaten menjadi pendengar, menjawab pertanyaan,  dan memberikan solusi permasalahan.



Tak terasa, waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam. Kami lanjutkan perjalanan dengan mengajak Om Julianto Simanjuntak jalan-jalan di pasar malam di Jordan. Pasar  yang berada di kawasan  Temple Street ini, hanya dibuka ketika sore menjelang sampai malam hari. Mayoritas pembeli  yang datang adalah  wisatawan-wisatawan mancanegara. 


 Dan harga pun sudah bisa ditebak sangat berbeda dari tempat lainnya. Harus pinter-pinter nawar istilahnya. Sebuah buku catatan kecil  dan sangat unik yangcovernya terbuat dari kulit dibandrol dengan harga seratus lima puluh dolar. Kami menawar tujuh puluh dolar saja. Tetapi masih belum bisa, dan akhirnya kesepakatan finalnya adalah seratus dolar. Sepasang papan catur unik memikat hati Om Julianto Simanjuntak. Beliau berujar, jika anaknya menyukai catur dan ingin memberikan oleh-oleh catur tersebut. 


 Harga bandrolnya adalah dua ratus lima puluh dolar. Kami menawar dengan harga seratus delapan puluh dolar, tetapi penjual kekeuh menolak. Sudahlah, kalau tidak boleh segitu kita pergi saja yuk! Cari tempat lain saja. Saya mengajak berpindah untuk mencari tempat yang lebih murah. Dan tanpa dinyana  atau memang ini adalah strategi yang harus kita pakai sebagai pembeli, papan catur unik itu dilepas dengan harga final seratus delapan puluh dolar. Wow, fantastis!

13199914221736790474
Aksesoris khas Hong Kong/ani.doc
1319991473595299736

Papan catur cantik, oleh-oleh mendadak dari kompasianer Hong Kong/ani.doc 

1319991356174023432
Lukisan dengan sentuhan cantik nan apik terpampang dengan harga yang beragam/ani.doc




Sekitar satu jam di pasar malam  kawasan Jordan,  kowloon. Ujung ketemu ujung kami putari. Huntingbarang yang diinginkan pun sudah terbeli. Harus pinter-pinter nawar, kuncinya. Sama saja ketika membeli barang di Indonesia, tawar-menawar adalah hal yang wajar.


Tak terasa waktu menunjukkan jam delapan malam. Pertemuan yang singkat dan sangat berkesan pun harus berakhir. Di dalam MTR Jordan kami saling berpeluk, mengucapkan salam takzim dan terimaksih untuk pertemuan yang berkesan hari ini. Kompasiana membawa banyak cerita  baru, seru dan beragam dari  kompasianer yang memang  beragam latar belakang.

13199915791834506543
Kompasianer, menjelang berpisah/ani.doc

1319991532114076846
Stasiun MTR Jordan. Moment yang tak pernah terlupa/ani.doc


1319991665505179782
Dapat oleh-oleh buku dari penulisnya langsung. Seni Merayakan Hidup Yang Sulit oleh Om Julianto Simanjuntak. Terimakasih. Menambah koleksi bacaan saya. Dan bersiap membacanya.ani.doc

1319991617465428611
Nah, lo. Percaya kan. Masih muda dan penuh semangat.






Kamar.30.10.11.11.00
Newterrotories, pertemuan memang selalu membawa kesan…




Rabu, 21 Desember 2011

Dua Tahun Itu


gambar:kembarad7000.blogspot.com


Tak banyak yang tahu tentang janji itu. Janjiku dan kamu. Begitu sederhana janji kita. Atau memang kita berdua sengaja membuatnya sesederhana mungkin--- sehingga tak harus ada khawatir untuk terbesit ingkar di hati kita masing-masing.

Ya, janji kita untuk bisa bersama menjalin ikatan.  Janji yang akan kita lanjutkan ke jenjang yang lebih indah. Dalam cerita hidup yang akan kita ukir berbingkai coretan kisah sejarah---yang akan kita wariskan untuk anak cucu kita nanti. Nanti. Ya, nanti?

Pernikahan, itulah tujuan kita saat itu. Sebuah janji sama-sama kita ukir dengan pena yang sama dalam hati kita. Sebuah janji yang sama-sama kita jaga untuk tujuan yang sama---yaitu kebersamaan.  Setia itulah ikrar kita saat itu. Ya, setia. Aku pasti akan memegang ikrar kita.  Janji yang tulus yang pernah ku ucapkan padamu ketika itu.

Hanya dua tahun, itulah pametku padamu ketika itu. Bukankah waktu dua tahun itu sangat terasa lama?, tanyamu padaku ketika itu. Tidak sayang, waktu dua tahun itu akan sangat terasa cepat bagi kita kalau kita sama-sama menjaga janji kita. Ku coba kembali menyakinkanmu dengan sebuah kepastian, bahwa aku pasti akan pulang dalam waktu dua tahun. Kutinggalkan sebuah arloji untukmu, agar engkau dapat memandangi waktu dan mengingatku setiap saat. Bahwa dua tahun itu akan sangat terasa cepat.


Kejujuran dalam hatiku memberontak saat itu. Aku tak ingin jauh darimu, dan alasan ini terus dan terus memburuku hingga memenuhi bilik-bilik mimpi kerinduanku padamu. Aku terdiam atas sikap nekatku saat itu. Kuputuskan pergi untuk beberapa saat bukan karena tanpa alasan. Justru inilah masa depan kita. Dua tahun terasa cepat ketika musim dingin pertama bulan Oktober menyapaku. Ketika aku masih sangat asing dengan musim yang masih baru. Ketika aku harus bertahan hidup tanpamu di sisiku. Seluruh pori-pori kulitku mengering----akibat musim yang terasa kering. Darah segar mengucur dari hidungku,dan kata mereka aku kurang minum air. Tubuhku memberontak dengan kondisi ini.  Aku ingin pulang!!!



Satu tahun lagi janji itu akan datang kepada kita. Aku bersabar untuk itu, dan aku harap di sana engkaupun akan juga lebih bersabar. Untukku, untukmu, dan untuk kita berdua. Kegiranganku bertambah, semenjak musim dingin berlalu dan tergantikan musim panas yang sangat menyengat. Matahari seakan-akan sombong sekali terhadap penduduk bumi--- termasuk juga padaku, yang harus rela membiarkan kulitku berwarna gelap akibat sinarnya yang tak bersahabat.


Tapi, tak apalah. Hatiku merasa sangat terhibur ketika lembar demi lembar kalender berganti. Hari Senin menguber  Senin kembali terasa cepat silih berganti. Bukan dua tahun itu yang ku rindukan. Tetapi dua bulan lagi yang kurindukan. Dua bulan lagi aku akan pulang.

Tunggu aku, bersabarlah demi janji kita. Aku menjaganya hingga kini untukmu. Untukku dan untukmu.
Dengan hadir bayangku serta hadir bayangmu yang seutuhnya. Dengan segenap jiwa serta hati putih yang kita simpan dalam jemari rindu kita.  Semua luka dan kesedihan kita selama ini akan segera tergantikan dengan pertemuan.



Tetapi, langit seakan gelap saat itu---matahari seperti berbalik arah terbitnya di senja kelabuku. Waktupun seakan berhenti ikut berlari dari kalender demi kalender yang telah kususun rapi untukmu. Yeung UK Road Tsuen Wan, senja petang ketika aku mengumpulkan sisa tenaga yang terhempas asa.

Sebuah SMS “pametmu” padaku---disertai maaf yang tersingkap khilaf. Kau ungkapkan kalimat penganiayaan itu padaku,“besok adalah hari pernikahanku dengan gadis pilihan orang tuaku.”


Ani Ramadhanie
Hening. Man King Fung, 30 Oktober  2010

Senin, 19 Desember 2011

Wanita Penunggu Pohon Mangga



gambar:terselubung.blogspot.com



Konon, wanita itu terlalu cantik untuk disebut sebagai seorang wanita. Banyak orang  menyebut dirinya adalah jelmaan putri raja. Keturunan darah biru. Bahkan cerita yang lebih menggemparkan yang sempat kuingat adalah ia sangat sempurna. Bentuk nyata penuh kharisma yang selalu dipuja kaum Adam. 


Rambutnya panjang terurai menyapu tanah. Senyumnya menggetarkan setiap degup jantung yang sudah enggan berirama. Aroma tubuhnya bukan hanya wangi. Tetapi mungkin inilah aroma surga yang banyak diimpikan setiap insan. Wajahnya? tidak usah diragukan lagi, air liur lelakipun akan terasa sangat sayang tertelan jika ia memunculkan keberadaanya.

Arum!!!


Mereka menyebutnya. Ia mulai membuat heboh kembali di kampung kami. Setelah ia muncul kembali --semenjak hari ke-tujuh kematiannya yang misterius.

 Warga Hulu Karam, tak lagi setenang dulu. Keheningan beberapa puluh tahun yang lalu, seakan terpoles oleh kanvas berwarna hitam yang terus memburu dinding pelabuhan. Kembang desa itu tak lagi ada. Ia hilang dari tatapan, tapi tak lenyap di peradaban. Tak ada yang tahu kejadian malam itu. Malam dimana terjadi pembantaian oleh orang misterius yang menghabiskan seluruh keluarganya . Tak ada jerit.  Tak ada tangis--juga ratapan yang terdengar.



Tanpa ampun, mereka membuat semuanya sama sekali tak tersisa. Pak Budiman beserta istri terkapar di kamarnya dengan beberapa puluh tusukan pisau yang menganga. Darah segar mengucur, bak kran air yang rusak termakan karat. 

Arum, kembang desa itu tak kalah tragis dari kondisi orang tuanya. Ia ditemukan tergantung dengan lidah yang menjulur dari dalam kamarnya. Bajunya terkoyak oleh jamahan tangan setan yang tak kenal tata krama. Tak ada yang tahu ulah siapa itu?


Misteri!!!
Semua orang diam penuh tanya. Misteri terbungkus trauma yang menjulurkan cerita baru ke dalam sebuah babak kehidupan berikutnya.



Brakkkk!!!!!!!

Tok..tok..tok….!!!

To…tok…tok…!!!

Tok…tok…tok…!!!



Pintu kayu rumahku seperti ada yang mengetuknya. Semakin cepat ia mengetuknnya, dan semakin cepat lagi. Guncangan dari badan yang sembari ia sandarkan pada daun pintu tua itu, membuat bunyi engsel yang sudah tak lagi perawan terdengar riuh merajai sepinya malam.


“Mbak…buka pintunya!”

“Mbak…c-e-p-e-t mbak!”

Suara Aryani, adik lelakiku terdengar parau. Nafasnya terdengar jelas saling berburu diantara buliran keringat yang membuat basah kaosnya. Ia nampak pucat sekali.

“Ada apa Yan?”, teriakku jengkel sembari menutup pintu.

Hhhhh…hhhh…hhhhh….


Nampak ia berusaha mengatur kembali nafasnya yang tak lagi normal terkendali. Segelas air hangat dari tanganku setidaknya membuatnya kembali mereda ketengangan.

“Mbak..mbak.., eh…a-k-u nggak mimpi kan?”


Iyan bertanya kepadaku sembari menampar sendiri mukanya. Sekali, di pipi kanan. Dua kali di pipi kiri. Ia nampak aneh sekali. Ia diburu oleh rasa takut yang sangat tak terkendali. Dan ini, baru kulihat pertama kali pada dirinya.



Tuturnya-- ketika ia melintasi gang enam lima, Iyan mengaku kalau bahunya dipukul dari arah belakang. Ketika ia menoleh, tak ada satupun orang yang sedang mengikutinya. Dibiarkan saja, namun hal yang sama kembali terulang. Pukulan di bahunnya terasa lebih keras dari sebelumnya. Bau anyir seketika menyengat mengikuti tarian angin malam yang menyusup di dua sela pernafasannya. Kaki yang ia andalkan untuk berlaripun, terasa terpatri oleh lekatan lem yang menempel pada dasaran tanah pasir yang sedang ia pijak.
***




Penduduk Hulu Karam percaya tempat tinggal para hantu disebut tempat angker atau sanget. Dan tak ubahnya, Masjid adalah tempat yang dianggap bersih serta suci. Adanya pantangan atau pamali masih dipercaya dan diyakini dengan taat. Terutama menyangkut kehidupan dan aktifitas sehari-harinya. 


Walaupun bukan merupakan peraturan tertulis, namun penduduk Hulu Karam tetap menjungjung tinggi tradisi kampung ini. Pada hari Suro,daerah yang sudah dianggap didiami para hantu tersebut, selalu tak lupa untuk tetap di beri sesajen. 


Hal ini menurun dari generasi ke generasi yang tak tahu siapa pemulanya. Sementara, kondisi Iyan kembali normal. Ia nampak biasa saja, seperti semula. Namun, petang itu. Kamis Legi jam sembilan malam, setelah Iyan masuk rumah dan memarkir sepeda motornya-- ia duduk terdiam di kursi rotan. Tak orang yang ia sapa seperti biasa kepulangannya. Tiba-tiba ia menjerit histeris sambil berkata,

”Jangan ganggu aku. Pergi…!”

“P-e-r-g-iiiiiiiiiiiiiiii…!”

Nafasnya naik turun, Iyan terpental ke tanah.

Hhhhhh…hhhhhhhhhh…hhhhh….

“T-o-l-o-n-ggggggg….!”, teriakku.



Semua tetangga berdatang malam itu. Rumah kami ramai seperti kondangan pada gelar hajatan. Iyan tersungkur dengan badan yang semakin kaku. Empat lelaki dewasa berusaha mengitari tubuhnya, agar ia tak terlepas dan berusaha lari. Iyan menggerang dengan cerocos mulut semakin tak menentu.



 Matanya tertutup rapat, tetapi masih sama dengan tenaga yang tak kalah kuat. Sesekali saja mata itu terbuka, ia langsung memelototi siapa saja yang berada di sekitarnya. Ketakutanku tak dapat aku sembunyikan. Memaksaku untuk bersembunyi dari tempat dimana Iyan masih terkapar. Dari bibirnya, ia menerocos lagi tak karuan. Suaranya berubah seketika, mimik manja tersungut dari arah senyumnya.


P-e-r-e-m-p-u-a-n? 

Haaaaaaa…?


Semua orang bertanya-tanya, siapa perempuan yang merasuki tubuh Iyan saat ini?

“Sakit….sakit…”

“Antarkan aku pulang…!”

Hhhh…hhhh…hhhh…

“Aku ingin pulang…!”, Iyan tetap mengomel tak tentu arah dengan suara perempuan yang terdengar.
Dadaku berdesir halus, sangat halus bahkan dari halus kelembutan sutera. Aku takut, semakin takut.

“Duh…Gusti?”
***



Dengan siaga, ternyata kang Yanto, tetangga kami telah memanggil seorang ustadz dari desa sebelah. Dengan dilantunkan ayat suci, tubuh Iyan mengoyak lebih dasyat di genggaman para lelaki disekitarnya. Matanya terlihat membuka lebih lebar dari sebelumnya. Nafasnya saling menguber, berburu. Tubuhnya nampak lunglai.


“Hahhhh..pergi kau!”

“Panas…!”

“Panas…!”

“Panas…!”


“Kalau tidak, akan kupanggilkan semua teman-temanku!”

“Arrrgggghhhhhhhhhhhhhhhhhhh……………..!!!”

***




Dari cerita ustadz itu, dapat terungkap bahwa makhluk halus itu berasal dari Pohon Mangga yang berada di pekarangan belakang teras rumah Pak Budiman. Dan disarankan agar Pohon Mangga itu segera ditebang, tanpa menundanya.


“Harus sekarang Pak Ustad?”, tanya kang Yanto.

“Iya kang.”

“Gak bisa besok ya Pak?, kan sudah jam 1 malam?”

“Tidak bisa kang!” Jawabnya tegas.



Dengan keberanian yang setengah-setengah, akhirnya kang Yanto ditemani lima lelaki lainnya bergegas ke tempat yang dituju. Nampak dari kejauhan, Pohon Mangga itu berbuah sangat lebat. 

Setelah memasuki pekarangan depan rumah pak Budiman, dan berlanjut menuju teras belakang, langkah mereka terhenti seketika. Sosok bayangan putih nampak jelas sedang duduk tertunduk di bawah Pohon Mangga tersebut. Bau kembang kamboja menyengat searoma malam yang semakin kelam. Wanita itu tersenyum pucat.



Kang Yanto dan beberapa lelaki lainnya hanya bisa terdiam. Berdiri kaku seperti seonggok batu.


“A….A….A…..Arrrruummmmm?”, pekik lirih terdengar dari kerongkongan suara kang Yanto yang nampak asat.


“Kang…..antarkan aku pulang?.”, suara Arum terdengar sambil mendesah, memenangakan ketegangan malam bersama lelaki yang sedang ketakutan.


Arum mendekat dengan cepat. Ia tak berjalan, bukan pula terbang. Menghilang. Yach, ia begitu cepat menghilang tepat di depan tatapan mata kang Yanto. Asap putih dibarengi hembusan angin turut menyusup ke raut mukanya. Dingin.



Warga Hulu Karam geger kembali. Terdengar kabar bahwa kuburan Arum ditemukan berlubang. Mayat Arum menghilang!




Ani Ramadhanie
Hening. 5 Maret 2011

Rabu, 14 Desember 2011

Kamini Namanya


1313732794643343727
gambar: kegiatan menjala ikan warga pesisir selatan/danusblog.com




Sepertinya matahari masih terlalu lama bertemu pagi. Azan subuh pun belum nampak terdengar dari langgar yang berjarak hanya lima belas langkah dari rumahnya. Suara karet dari kerekan sumur terdengar mendesir ketika tergesek oleh besi yang sudah termakan usia. Airnya gemericik memecah hening.  Mengalahkan dengkuran para manusia yang selalu larut oleh gunungan mimpi. Ia menariknya pelan, takut kalau anaknya terbangun oleh suara bising di pagi yang masih buta.


 Ember yang bibirnya sudah terbelah itu tidak bisa penuh lagi, terisi oleh air yang ditimbanya. Ia mengulanginya lagi. Lagi dan lagi. Menimba air, memenuhi jedhingan agar anaknya dapat mandi sebelum pergi ke sekolah. Musim kemarau semakin meranggas. Menjadikan sumurnya menjadi tidak dangkal lagi. Membuat tarikan karet yang melilit pangkalan besi tua dan terkait oleh ember itu,  harus ia lelerkan lebih panjang lagi ke dasaran sumur. Lumut-lumut di bibir sumur juga semakin mengering. Sepertinya ia sudah enggan hidup lagi di sana. Bak air sudah terisi penuh. Perasaan sumringah menyelimuti hatinya.



Kemudian kakinya menuju arah dapur. Di tentengnya seonggok blarak kering yang ia pungut dari alas mbah Karto kemaren sore. Api mulai menyala-nyala. Berasnya sudah selesai di cuci. Gorengan ikan asin serta krupuk sudah mendahului di atas meja kayu tua.


Le…bangun nak, sholat subuh dulu.” Perintahnya kepada anaknya yang masih terlelap.

Mengambil air wudhu dilakukan bergantian dengan anak semata wayangnya setelah suaminya berpulang. Suaminya jatuh ke dasar laut.  Dan tak di ketemukan sampai sekarang ketika menjala ikan di musim padhang rembulan. 

Seperti biasanya.  Ia memulai untuk menuangkan air wudhu yang sudah terisi di sebuah kendi yang berwarna tanah itu kepada anaknya. Begitu pula yang dilakukan oleh anaknya. Dulu sempat ia ingin membangun tempat untuk berwudhu di dekat jedhing.  Tetapi kepergian suaminya terlalu cepat sehingga rencana itu pun terlewat.

Sehelai kain ia potong memanjang dari jarik yang sudah tak terpakai. Tak lupa caping bertali yang sudah berganti warna itu ia tenteng di bahunya. Sarung tangan? Ah seharusnya ia juga memilikinya. Agar tangannya tak merasakan panas bahkan sampai kulitnya mengelupas ketika menarik seutas tambang di rutinitasnya.

Pagi setelah anaknya pergi ke sekolah, ia berangkat juga. Membelah jalan pintas dari belakang rumahnya melewati jembatan oleng menuju arah bibir pantai. Sudah berkumpul beberapa wanita paruh baya di sana. Ada sepuluh wanita dan dua lelaki saja. Ia kenakan potongan jarik sebagai cadar di wajahnya. Ia kenakan caping sebagai peneduh dari ganasnya terik surya. Mungkin pekerjaan ini sudah purba. Tetapi ia tetap setia. 


Hari itu sudah berjalan tiga jam dari waktu di mana ia memulai kerjanya. Ia berada di barisan paling depan dari ke-sebelas penarik tali tambang. Peluhnya semakin terlihat. Tetes-tetes keringat turut mengucur di dahinya yang tertutup oleh teduh caping. Punggungnya mulai basah oleh keringat yang terserap dari baju yang menempel ketat. 


Di sisi kanan lalu berpindah di sisi kiri ia berbaur dengan mereka. Menarik seutas tali tambang yang berujung dengan sebuah jala besar yang berjarak ratusan kilo meter dari tengah lautan agar mencapai daratan.Menjaga keseimbangan dari benaman pasir pantai yang kadang tak bisa arif pada pelakon kehidupan yang hanya ingin mencari pangan.



Gurauan saling mereka umpan. Berharap kepenatan segera tersisihkan. Bergumam rapalan doa dalam hati Mengharap panen ikan akan melimpah. Kamini, sesekali hatinya kaku dalam diam. Di antara dilema laut yang telah mencuri ruh suaminya. Dan juga menelan jasad lelakinya. Tetapi laut juga lah yang telah memberinya makan selama ini.


Sementara lamat-lamat azan dzuhur sudah berkumandang. Para pedagang sudah menunggu di sisi kanan-kirinya. Berharap pula panen ikan akan melimpah. Agar pundi-pundi rupiah bisa mereka raup dari laba penjualan yang semakin bertambah.


Enam jam sudah tali tambang mereka tarik. Kulit yang mengapal bahkan terkelupas oleh besitan tali menjadi keseharian mereka. Jala besar yang mereka tarik sudah berada di tepian. Tidak seperti yang mereka harapkan. Ikan yang di peroleh dari jala-jala itu tak sebanding dengan waktu, tenaga yang telah mereka keluarkan. Upah yang mereka peroleh pun tak banyak seperti yang mereka inginkan. Dua puluh ribu rupiah itu saja. Wanita itu pulang dengan sumringah.


“Mak…Udin perlu beli sepatu baru!” Sembari menyodorkan sepatunya yang sudah robek di bagian depan serta samping. Lem yang menempelkan bagian bawahnya pun sudah hampir terlepas.

“Bukankah masih bisa di pakai to le…” Ia menimpali anaknya.

“Udin malu mak!” Wajahnya nampak terkulai lesu ketika mendapat jawaban dari emakya yang nampak tak bisa membelikan sepatu baru untuknya.
***




Kamini dan Udin berjalan dengan rutinitas. Satu hari, dua hari dan seterusnya. Sementara musim panen ikan di musim ini masih berjalan, meskipun penghasilan tidak pasti di dapatkan.


“Din…Udin.” Kamini memanggil-manggil anaknya sepulang ia menjala di bibir pantai. 


Meski bukan uang yang ia bawa pulang, tetapi ada sepuluh biji tangkapan sotong yang ia bawa pulang. Ia gantikan upah kerjanya dengan sotong kesukaan Udin. Kamini terus mencari Udin. Berharap hati Udin akan sumringah ketika melihat emaknya pulang dengan makanan yang ia senangi. Tetapi Kamini sudah berteriak semenjak dari luar dan mencari seisi rumah, tak ia ketemukan si Udin. Terlihat sepatu Udin tergeletak di pojok dapur dengan lumuran warna yang jelas, hitam!


Kamini memungut sepatu itu. Menciumnya, penasaran gerangan apa yang menghitam di sepatu anaknya itu. Hah, bukankah ini bau cat kayu? Kamini terkaget-kaget kenapa cat kayu bisa melumuri sepatu anaknya. Ia kembali meletakkan sepatu pada tempat semula, ketika terdengar gemericik air dari arah jedhing. Kamini mendekati Udin yang tengah sibuk dengan sebotol thinner untuk membersihkan kakinya.

“Udin jahit sepatunya mak!”

“ Di tempat benang adanya cuma warna putih. Udin lumuri cat warna hitam agar Udin tidak di suruh berdiri setelah upacara bendera mak….!” Dengan polos Udin menjelaskan ke emaknya.

Kamini terdiam, kaku bagai bongkahan batu yang mengeras. Hati Kamini hancur. Darahnya mendidih seketika. Melihat tingkah polah anaknya yang menyayat-nyayat hatinya. Ia memeluk Udin. Menangis hebat. Merasakan iba yang dasyat akan nasib yang Udin terima. Merasakan naluri keibuannya memberontak kuat ketika ia belum bisa membuat bahagia anaknya.
***



Pagi ini Kamini bangun lebih pagi. Jauh lebih pagi dari bangunnya ayam pejantan yang biasa berkokok. Semuanya dilakukan agar Ia dapat berburu rupiah yang lebih banyak lagi, dan lagi. Menyapu daun cengkeh di alas mbah Karso menjadikan waktunya lebih banyak dihabiskan diluar rumah. Menjualnya ke tangan penyuling minyak di dekat kantor kelurahan.


 Berlanjut dengan caping di kepalanya, ia kembali berdiri di antara barisan para nelayan pemburu ikan. Meskipun hampir telat, ia masih mendapatkan tempat. Dadanya kembali berdesir mengingat laut dan keganasannya pada hidupnya.


 Laut yang telah merenggut jasad suaminya. Laut yang sanggup mengejawantahkan kecintaan pada anak semata wayangnya. Ya, demi Udin apapun akan ia lakukan. Tangannya bukan kapalan lagi, tetapi lapisan kulitnya mulai memerah, terkelupas karena kerasnya tali yang beradu oleh tarikan jala yang terhempas oleh ombak.


Kamini berharap, dari tangannya ia segera bisa membelikan sepatu baru buat Udin. Berangkat pagi, pulang siang, lalu berangkat lagi sampai malam. Kamini hanya mengerti jikabekerja adalah pengabdian pada Gusti Agung. Menjalankan titah tanpa sempat berfikir untuk menghancurkan yang lain demi kejayaan diri sendiri atau keluarganya. 


Seperti yang telah mahfum terjadi di negeri tercinta. Seperti yang telah banyak di contohkan oleh pejabat, petinggi negeri ini. Kamini mengerti bergelut dengan tanpa harus menyikut. Kamini tidak seperti kebanyakan mereka yang sering melarikan masalah dengan diam. Tetapi tak di nanya diam-diam malah menebalkan muka.



 Banyak orang yang menganggap semuanya baik-baik saja. Ibarat kata, mereka terlalu sering bercermin kepada diri sendiri. Melihat diri sendiri aman-aman saja. Tetapi Kamini tidak demikian adanya. Sama seperti arti dari nama yang ia sandang, ia tetap menjadi wanita penuh kasih sayang untuk keluarga.  Untuk Udin anak semata wayangnya.



Note:

Jedhing: Kamar mandi
Alas : Hutan
Langgar: Masjid kecil tempat shalat
Kendi : Tempat air bercerat ( dibuat dari tanah)


Ani Ramadhanie-Newterritories
Hening. 19 Agustus 2011-01.44 PM