Beruntung. Alarm yang sudah ku set pada kedua hape-ku dapat membuat nyawa kembali ke raga. Meski kantuk baru saja mendera. Bangun tepat di pagi yang masih terasa dingin. Jam lima teng, aku sudah selesai mandi. Berbenah. Jilbab merah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari terasa sangat pas dengan kondisi hatiku. Berani?
Memeriksa ulang tiket, Paspor, ID Card, Lap top, Kamera, Koper dan semua yang telah kupersiapkan. Jam 6 pagi dan ini masih terlalu awal untuk sebuah
aktivitas. Sekitar 45 menit, Taxi berwarna merah marun yang kutumpangi membawaku meluncur ke Bandara Chek
Lap Kok yang tak pernah sepi.
Pagi yang terasa dingin dengan rintik
hujan mengiringi. Seakan langit mengerti, tentang debar yang terasa di hati.
Lima tahun lalu, kenangan itu tiba-tiba
muncul. Kedatanganku sebagai komunitas baru
di tempat yang dihuni oleh kaki-kaki besi yang selalu sibuk. Diburu rutinitas tanpa
batas. Dan semuanya menuntut laju yang cepat. Tangkas. Giat.
***
Jam tujuh tiga puluh cex in selesai. Masih tersisa dua jam lagi menunggu waktu penerbangan. Aku
gelisah. Keringat mulai terasa mengalir pada pelipis yang tertutup oleh jilbab.
Telapak tanganku dingin. Dan ini tidak seperti biasanya.
Jam sembilan tiga puluh,
Pesawat Cathay Pasific yang
kutumpangi berangkat on time. Hai,
kenapa perasaanku tiba-tiba saja
berubah? Yakin dengan jalan yang akan kamu tempuh? Hahaha, kamu gak salah kan?
Mana komitmen dan janji yang selama ini kamu koarkan? Hatiku mulai berdialog
tanpa permisi. Harusnya hari ini aku bahagia. Bukankah ini adalah angan yang selama
ini selalu membayang?
Ah, senyumku kecut! Aku yang
sedang galau, berharap akan dapat jatah
tempat duduk di bagian dekat jendela. Menatap awan dengan lebih dekat. Dengan
harapan akan menjadi orang yang pertama
kali menatap tumpukan atap-atap hunian berwarna cokelat di langit-langit Jakarta. Ya, pertama kali. Kemudian,
kuharap sketsa wajahmu juga akan hadir di sana. Menungguku dengan senyum di pipi
lesungmu yang selalu kurindu.
Setengah jam lagi, pesawat
mendarat. Jatah makan di dalam Pesawat kubiarkan terlewat. Dan aku semakin
diburu dengan perasaan was-was yang mengarat. Apakah benar hari ini aku akan berjumpa
dengannya? Setelah selama itu, ada pada siang dan malam selalu kami habiskan
pada ujung kerinduan tanpa perjumpaan?
“Tuhan, berilah kekuatan
padaku.”
Bandara Soeta. Akhirnya bertemu
juga dengan kedua sahabat yang kukenal melalui jejaringan sosial di salah satu
komunitas menulis. Mereka berdua sengaja menjemput di kedatanganku. Kami sering
saling menyapa, bertukar fikiran dan sharing tentang apapun. Akan membuat acara kopdaran kecil-kecilan dengan
beberapa kawan yang berada di Jakarta atau kebetulan sedang berada di Jakarta,
adalah bagian dari rencana kecil kami.
“Bagaimana dengan
Indonesia, sangat jauh berbeda kan,
haha..?”
Kami larut dalam peluk dan canda. Dua orang sahabat yang
kuanggap pula sebagai sesepuh yang selalu mempunyai semangat luar biasa.
“Nda, kamu di mana sih?”
“Pakai baju warna apa?” Di ujung telfon kami disatukan
kembali dalam sapa.
Deg!!!
Aku semakin gelisah.
Sesaat tatapku menemukannya terlebih dahulu. Wajahnya
masih sama. Rambutnya. Pipi lesungnya. Dan tatapan mata yang membuatku selalu
terpana. Waktu yang canggung, membuatku
sengaja berpaling. Pura-pura tidak mengetahui keberadaannya.
Tangan kami tidak pernah saling menjulur sekadar basa-
basi.
Dadaku berdesir, lirih. Mataku tak sanggup untuk sekedar
menatapnya. Atau bahkan memastikan bahwa ini adalah orang yang selama itu mengisi hari-hariku. Membuatku kembali
berani menaruh sedikit mimpi untuk menghitung gemintang di langit yang malamnya
tak selalu sepi. Walau aku juga tahu,
kapan aku diharuskan berhenti dan selesai menghitung gemintang itu.
Hahaha...cinta itu seperti main judi, tahu! Persiapkan
saja hatimu. Menang itu pasti bahagia. Dan kalah pasti juga akan bahagia, walau
pasti kamu juga akan merasakan sakit. Bahagia yang tertunda, maksyutnya, gitu!!! Tapi
setidaknya kamu pernah mempunyai keberanian untuk mencobanya. Sukses!!! Pesan
singkat yang masuk ke dalam inbox hape-ku
beberapa pekan lalu. Pesan yang membuat adreanalin semakin berpacu.
“Nda....”
Sapaan itu yang telah menemukan tatap mata kita. Membuat
debarku semakin tak tentu. Aku hanya bisa tersenyum. Sulit bibir ini sekadar
untuk mengucap namamu, atau nama panggilan sayang yang selama ini ku biasakan untukmu. Aku tertunduk malu.
Tersenyum tipis, sekedar simpul. Bersembunyi di belakang punggungmu membuatku
nyaman.
Kamar.25.10.22.20.31
Newterritories. Saat aku mulai mengingat dan mengawalinya...