Selasa, 25 Oktober 2011

Perjumpaan



  
Semalaman aku tidak bisa tidur dengan nyenyak.  Perasaan takut terus menyelimuti tanpa permisi. Khawatir kalau-kalau akan terbangun kesiangan. Dan semua mimpi akan berakhir.

Beruntung.  Alarm yang sudah ku set pada kedua hape-ku dapat membuat nyawa kembali ke raga. Meski kantuk baru saja mendera.  Bangun tepat  di pagi yang masih terasa dingin. Jam lima teng, aku  sudah selesai mandi.  Berbenah. Jilbab merah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari terasa sangat pas dengan kondisi hatiku. Berani?

Memeriksa ulang tiket, Paspor, ID Card, Lap top, Kamera, Koper dan semua yang telah kupersiapkan. Jam 6 pagi  dan ini masih terlalu awal untuk sebuah aktivitas. Sekitar 45 menit, Taxi berwarna merah marun  yang kutumpangi membawaku meluncur  ke Bandara Chek Lap Kok yang tak pernah sepi. Pagi yang terasa dingin  dengan rintik hujan mengiringi.  Seakan langit mengerti,  tentang debar yang terasa di hati.

Lima tahun lalu, kenangan itu tiba-tiba muncul. Kedatanganku sebagai komunitas baru di tempat yang dihuni oleh kaki-kaki besi  yang selalu sibuk. Diburu rutinitas tanpa batas. Dan semuanya menuntut laju yang cepat. Tangkas. Giat.
***


Jam tujuh tiga puluh cex in selesai. Masih tersisa dua jam lagi menunggu waktu penerbangan. Aku gelisah. Keringat mulai terasa mengalir pada pelipis yang tertutup oleh jilbab. Telapak tanganku dingin. Dan ini tidak seperti biasanya.

Jam sembilan tiga puluh, Pesawat Cathay Pasific yang kutumpangi berangkat on time. Hai, kenapa perasaanku  tiba-tiba saja berubah? Yakin dengan jalan yang akan kamu tempuh? Hahaha, kamu gak salah kan? Mana komitmen dan janji yang selama ini kamu koarkan? Hatiku mulai berdialog tanpa permisi. Harusnya hari ini aku bahagia. Bukankah ini adalah angan yang selama ini selalu membayang?

Ah, senyumku kecut! Aku yang sedang galau,  berharap akan dapat jatah tempat duduk di bagian dekat jendela. Menatap awan dengan lebih dekat. Dengan harapan  akan menjadi orang yang pertama kali menatap tumpukan atap-atap hunian berwarna cokelat  di   langit-langit Jakarta. Ya, pertama kali. Kemudian, kuharap sketsa wajahmu juga akan hadir  di sana. Menungguku dengan senyum di pipi lesungmu yang selalu kurindu.

Setengah jam lagi, pesawat mendarat. Jatah makan di dalam Pesawat kubiarkan terlewat. Dan aku semakin diburu dengan perasaan was-was yang mengarat.  Apakah benar hari ini aku akan berjumpa dengannya? Setelah selama itu, ada pada siang dan malam selalu kami habiskan pada ujung kerinduan tanpa perjumpaan?

“Tuhan, berilah kekuatan padaku.”
Bandara Soeta. Akhirnya bertemu juga dengan kedua sahabat yang kukenal melalui jejaringan sosial di salah satu komunitas menulis. Mereka berdua sengaja menjemput di kedatanganku. Kami sering saling menyapa,  bertukar fikiran dan sharing tentang apapun.  Akan membuat acara kopdaran kecil-kecilan dengan beberapa kawan yang berada di Jakarta atau kebetulan sedang berada di Jakarta, adalah  bagian dari rencana kecil kami.

“Bagaimana dengan Indonesia,  sangat jauh berbeda kan, haha..?”
Kami larut dalam peluk dan canda. Dua orang sahabat yang kuanggap pula sebagai sesepuh  yang  selalu mempunyai semangat luar biasa.

“Nda, kamu di mana sih?”
“Pakai baju warna apa?” Di ujung telfon kami disatukan kembali dalam sapa.

Deg!!!
Aku semakin gelisah.
Sesaat tatapku menemukannya terlebih dahulu. Wajahnya masih sama. Rambutnya. Pipi lesungnya. Dan tatapan mata yang membuatku selalu terpana.  Waktu yang canggung, membuatku sengaja berpaling. Pura-pura tidak mengetahui keberadaannya.


Tangan kami tidak pernah saling menjulur sekadar basa- basi.
Dadaku berdesir, lirih. Mataku tak sanggup untuk sekedar menatapnya. Atau bahkan memastikan bahwa ini adalah orang yang selama  itu mengisi hari-hariku. Membuatku kembali berani menaruh sedikit mimpi untuk menghitung gemintang di langit yang malamnya tak selalu sepi. Walau aku juga tahu,  kapan aku  diharuskan  berhenti dan selesai menghitung gemintang itu.

Hahaha...cinta itu seperti main judi, tahu! Persiapkan saja hatimu. Menang itu pasti bahagia. Dan kalah pasti juga akan bahagia, walau pasti kamu juga  akan merasakan sakit.  Bahagia yang tertunda, maksyutnya, gitu!!! Tapi setidaknya kamu pernah mempunyai keberanian untuk mencobanya. Sukses!!! Pesan singkat yang masuk ke dalam inbox hape-ku beberapa pekan lalu. Pesan yang membuat adreanalin semakin berpacu.

“Nda....”
Sapaan itu yang telah menemukan tatap mata kita. Membuat debarku semakin tak tentu. Aku hanya bisa tersenyum. Sulit bibir ini sekadar untuk mengucap namamu, atau nama panggilan sayang yang selama  ini ku biasakan untukmu. Aku tertunduk malu. Tersenyum tipis, sekedar simpul. Bersembunyi di belakang punggungmu membuatku nyaman.



Kamar.25.10.22.20.31
Newterritories. Saat aku mulai mengingat dan mengawalinya...

Minggu, 23 Oktober 2011

Tunggu Aku di Jakarta


gambar:mbiru.com
Ini bukan mantra cinta

Yang sengaja kutabur di altar tanpa singgasana
Seperti halnya berkuncup bunga kamboja
Yang tersisa di kering pusara

Malam ini dan seterusnya
Lantas masa itu kini tiba
Menagih rasa yang lama tereja
Walau kadang lelah merenta

Mas, cinta kita seperti lampu kota
Tak pernah beda
Menghitung mimpi sederhana
Tetap berpijak di atas bumi yang sama
Jemari saling meraba percaya
Setia merenda di dada
Doa kita menjadi perantara
Pada jalanan berujung satu muara
Sampai aku lanjut usia

Tunggu aku di Jakarta,
Seperti saat kita pertama jumpa



Ani Ramadhanie
Tsuen Wan-19 Oktober 2011-12.18am

Cinta, Bagaimana Kita Merasa




Kita sering tertawa bersama
Menangispun berdua
Menghabiskan larinya senja
Seperti percakapan yang selalu dimulai dengan tanya

Lantas firasat mengangkasa
Hasrat yang bicara
Kita mencoba merasa

Serupa getaran suara genta
Tertabuh di Pura
Menggema di angkasa

Selanjutnya,
Waktu ikut meraba
Berlarinya usia
Rasanya tak membuat sore kita jingga
Seperti cintamu pada anak-anak kita



Tsuen Wan, 26 September 2011, ketika kau selalu memafkan khilaf

Lelaki di Yeung Uk Road, Membuatku Mendadak Ingin Bercermin


Ada suatu pagi aku bertemu dengannya. Tak sengaja di pertigaan Yeung UK Road daerah New Territories, di dekat lampu merah silang yang ramai penggunanya. Aktifitas yang sangat padat oleh pengguna jalan, membuat dia menarik perhatian dengan sangat cepat. Banyak sekali orang yang sedang berkumpul. Membentuk sebuah lingkaran dengan tatapan mata yang searah. Pandangan beradu tatap yang sama pada seseorang yang sedang melakukan sebuah aktifitas di lantai. 




Penasaran dengan apa yang terjadi, akhirnya aku ikut juga dengan mereka yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Di atas sebuah lantai yang biasa dilewati oleh kaki-kaki yang selalu tergesa dan sibuk diburu tuntutan hidup perkotaan, lelaki itu membungkuk. Merapatkan kanvas yang telah diikatkan dengan batang kaca mata sebelah kirinya dengan gerak yang seirama agar hasil kaligrafi yang dia buat bisa maksimal. Telah berjejer beberapa kaligrafi Cina yang telah dia buat sebelumnya. 






Kanvas, tinta gambar, koper tempat alat-alatnya pun berada di dekatnya. Senyumnya selalu mengembang. Terlihat sekali semangatnya ketika itu. Dan mungkin tidak ada yang menarik darinya, jika dia adalah orang yang normal secara fisik. Semua orang sudah pasti bisa melakukan hal tersebut. Namun, yang menarik dari lelaki tersebut adalah dia bisa membuat kaligrafi tersebut tanpa kedua lengan layaknya manusia normal lainnya.




Tidak ada alasan untuk tidak bertahan. Mungkin itu yang menjadi semangat hidupnya. Kaligrafi yang sudah dibuat tersebut dihargai dengan seratus dolar Hong Kong per lembar. Nampak beberapa orang yang dari tadi berada di sekelilingnya menjadi pembeli atas karya yang telah dia hasilkan. Kaligrafi yang hendak dibeli dia gulung menggunakan dagu.


Kemudian dengan cekatan dia mengikatkan seutas tali kecil berwarna emas dan mengunci talinya menggunakan mulut. Sangat cepat seakan semuanyadikerjakan menggunakan tangan secara normal. Puji Tuhan. Tuhan berlaku adil kepada siapa saja, gumamku dalam hati. Naluri wanitaku yang selalu diikuti oleh perasaan gampang terenyuh, mendadak ingin menangis melihatnya. Merasa miris sekali dengan kondisi yang berada di depanku.





Lukisan yang telah terbeli diserahkan kepada pembeli. Uang seratus dolar di masukkan pada kotak segi empat tanpa tutup yang ia letakkan di sebelah kirinya. Dengan menganggukkan kepala, dia berucap xie-xie nie, toce sai, thank you, terimakasih berkali-kali. Senyumnya mengembang. Sumringah. Beberapa orang yang tidak membeli kaligrafi tersebut, tanpa dikomando dari siapapun sengaja memberikan uang sebagai wujud simpati kepadanya. Setiap ada yang memberikan uang, dia selalu berhenti melukis. Menganggukkan kepala beberapa kali dengan ucapa terimakasih. Dan aku masih terbengong saja melihatnya bisa membuat kaligrafi seindah itu dengan anggota fisik yang sudah jelas tidak sempurna.





Tiba-tiba saja datang seorang nenek mendekat. Dia datang dengan membawa bocah kecil berusia sekitar delapan tahun, dan kuduga dia adalah cucu lelakinya. Berbaur dengan beberapa orang yang sedari tadi memperhatikan bagaimana lelaki itu bisa melukis dengan kanvas yang di talikan pada tangkai kaca mata yang dia kenakan. Dia memberi beberapa lembar puluhan dolar ke dalam kotak segi empat tempat uang tersebut berada. Kemudian, dengan mengagetkan dan spontanitas nenek tersebut mengambil kotak segi empat tempat uang yang berada di sebelah lelaki itu. Dengan senyum, bersuara serak-serak basah dia memutar sambil menyodorkan kotak itu ke arah orang yang sedang berkerumun.





Pei jin a, emkoi…goi hou jam a! Beri dia uanglah, sangat kasihan melihatnya.
Ada yang merasa simpati dengan tingkahnya. Ada yang menggerutu memang dia siapanya, kok datang-datang langsung nyelonong saja. Semua dibuat bingung, termasuk diriku yang masih berada di tempat itu. Tetapi dengan agak malu-malu lelaki pelukis tersebut membuka percakapan dengan nenek tua.



“Maaf, tidak usah seperti itu…saya tidak meminta-minta kok.” Di akhiri dengan senyum. Dan berlanjut dengan kaligrafi yang masih menunggu untuk dirampungkan.



Ding….!!!
Betapa terbelalak diriku mendengarnya. Mungkin pendapat orang lain akan berbeda jika mengetahui hal tersebut. Sudah pasti akan senang jika ada orang yang suka rela membantunya mendapatkan uang. Tetapi dengan sangat sopan, dia menolak. Sebuah totalitas dalam berkarya. Tidak ingin diremehkan dengan ketidak normalan fisiknya. Atau tidak ingin dikasihani. Beberapa dugaan tiba-tiba saja berkelana di fikirku tanpa permisi. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.



Segera ku berikan sedikit yang kuikhlaskan sebagai wujud simpati kepadanya sebelum berlalu dan meneruskan hari liburanku. Tubuhnya masih sama, dengan posisi membungkuk. Kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengucapkan terimakasih.




Duh, Gusti! Aku berlalu dengan perasaan yang carut marut. Tidak seberapa yang telah kuberikan kepadanya. Tetapi senyumnya begitu sumringah dan nampak sangat bahagia. Semangatnya terlihat luar biasa dan jauh dari rasa putus asa. Mengucap terimakasih berkali-kali yang bisa kuartikan sebagai rasa syukur atas apa yang dia peroleh. Hatiku tiba-tiba saja kecut dibuatnya. Merasa tersindir dengan halus oleh sikap yang telah dia perlihatkan baru saja. 








Di dalam perjalanan menuju tempat janjian bersama teman-temanku, aku memilih berdiri walaupun masih ada beberapa tempat duduk yang kosong. Ku arahkan tatapan mataku pada kaca di dalam kereta. Kuamati bagian tubuhku. Mata menjadi sasaran utama. Karenanya aku bisa melihat indahnya dunia. Tangan kakiku yang sesempurna ini. Aku yang sering di siksa dengan perasaan iri seandainya bisa hidup berdampingan dengan Bapak Ibu, seperti keluarga lengkap lainnya. 






Aku yang sering kali menggerutu kurang cantik. Bertubuh gemuk. Selalu mengeluh dengan beberapa masalah yang datang. Sering ngedumel jika pekerjaan membuatku sering kelelahan dan merasa tersisih karena jauh dari sanak keluarga dan pergaulan. 




Dan ternyata semangat hidup dan rasa syukurku masih belum ada apa-apanya dengan lelaki pelukis kaligrafi tersebut.Pekerjaan yang membuatku masih bertahan sampai sekarang untuk tercapainya sebuah harapan akan sekelumit masa depan. Dan Alhamdulillah, tubuhku masih sesempurna ini. Nikmat sehat yang tiada tara dan tidak pernah terganti dengan segunung hartapun.
1319394942930660856
Tidak ada alasan untuk tidak bertahan/Ani.doc




Thanks Allah...

Hari ini aku bahagia.
Dan sepertinya, terkadang sangat sulit bibir ini untuk mengucapkan perasaan ‘bahagia’ untuk hal yang terkesan ringan dan normal.



Ani Ramadhanie
Kamar.23.10.11.22.00
Newterritories.
Semoga bermanfaat.

Pulang Liburan


Hunting  barang murah...

Liburan hari ini sangat terasa memuaskan.  Pulang sampai rumah jam sembilan malem. Bersihin make-up  yang biasa nempel di pipi tembemku walau hanya seminggu sekali. Mandi. Bahkan anak asuhku selalu bilang kalau dia takut dan merasa risih jika melihat  mataku yang bulat seperti bola pimpong itu selalu berwarna hitam ulah si maskara yang selalu kucinta.  Hehehe...Bertemu dengan sahabatku,  hunting roti kesukaan di La Gus Te,  sarapan yang sangat telat sekitar jam dua siang di McD yang cepat saji, muter ke pasar murah di Jordan buat hunting baju dan apa saja yang bisa diuber. Hehehe..maklum, meskipun dompet isinya masih berwarna merah  (pecahan ratusan), tapi apapun harus dimulai dengan memanage secara ketat jika hendak pulang ke tanah air secepat niat. Bukankah ingin berkumpul dengan keluarga adalah cita-cita yang sudah njubul  tak tertahan di ubun-ubun? Jadi, semua harus dimulai tertata rapi, serapi tumpukan beberapa buku yang tersimpan di rak kayuku.



Hari ini bahagia. 
Thanks God.


Kamar.231011.22.05
Newterritories